Bangsa Arab terdiri dari berbagai
suku yang mempunyai format dialek (lahjah)
yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek tersebut tentunya
sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural masing-masing suku.[1]
Aktivitas membaca dan menyimak bacaan al-Qur’an telah dilakukan sejak wahyu
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan beliaulah menjadi orang yang pertama
kali membacanya, kemudian diikuti dan diajarkan kepada para sahabat. Sahabat
yang dihadapi Rasulullah tidak hanya terdiri dari satu suku saja, namun dari
berbagai suku yang berbeda dan membawa budaya, karakter dan dialek yang berbeda
pula. Sehingga dalam mengajarkan al-Qur’an Rasulullah tidak memaksakan
kehendak, namun memberikan kelonggaran dengan bolehnya dibaca beragam asalkan
tidak mengubah arti yang sesunggunya.[2]
Oleh sebab itu, terjadinya perbedaan dialek secara natural tersebut yang
melatar belakangi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan
Al-Qur’an
A. Makna Qira’ah
Sab’ah
1. Pengertian Qira’ah
Kata
“القراءة”
merupakan bentuk jamak dari kata “قرأه”,
yang berarti menghimpun atau membaca. Qira’ah
berarti suatu cara yang ditempuh oleh seorang imam qira’ah (qari’) yang
dengannya ia berbeda dengan yang lainnya dalam hal membaca al-Qur’an, disertai
dengan kecocokan riwayat dan jalur-jalur darinya, baik perbedaan itu dalam hal
membaca atau mengucapkan huruf ataupun caranya.[1]
Secara
terminology qira’ah adalah:
القراءة هي اختلاف ألفاظ
الوحي المذ كور في كتابة الحروف أو كيفية
النطق بها من تخفيف و نثقيل وغيرهما
”Qira’ah adalah perbedaan lafaz-lafazh wahyu yang disebutkan
dalam penulisan huruf, atau cara pengucapan lafazh-lafzh Al-Qur’an seperti
ringan dan berat serta lainnya.”
Sedangkan
menurut Ali ash-Shabuni qira’ah adalah:
القراءات مذهب من مذاهب
النطق في لقرآن يذهب به إمام ن الأنمة القراء مذهبا يخالف غيره في النطق بالقرآن
الكريم، وهي ثابتة يأانيدها إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم
“Qira’ah adalah salah satu mazhab dari berberapa
mazhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur’an yang dipilih oleh seorang imam Qira’ah yang berbeda dengan mazhab lainnya serta
berdasarkan pada sanad yang bersambung hingga Rasulullah saw.” [2]
2. Makna al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf
Dasar pengambilan
(istinbath) turunnya al-Quran dengan memakai tujuh huruf disebutkan pada beberapa hadis, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sesungguhnya ia
telah berkata, bahwasanya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Jibril
telah membaca al-Quran kepadaku dengan mempergunakan satu huruf, kemudian aku
mengulanginya sampai akhirnya Jibril membacakannya dengan tujuh huruf.”
(H.R. Bukhari-Muslim)
Term
tujuh huruf itu telah mengundang berbagai kontroversial yang melibatkan banyak
ulama. Para
ulama’ berbeda pendapat, yaitu:
a. Al-Qur’an mengandung tujuh bahasa Arab yang
memiliki 1 makna.
b. Tujuh dialek bahasa kabilah Arab, seperti
Quraisy, Hudzail, Tamim, Tasqif, Hawazin, Kinanah, dan Yaman.
c. Tujuh aspek kewahyuan seperti perintah (amr), larangan (nahy), janji (wa’ad),
ancaman (wa’id), argumentasi (jadl), kisah-kisah (qishah), dan perumpamaan-perumpamaan
(matsal), atau perintah, larangan, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan
perumpamaan.
d. Tujuh perubahan perbedaan, yaitu sebagai berikut:
1)
Perbedaan bentuk isim dari mufrad, tatsniyah, jama’, mudzakkar, dan
mu’annats.
2)
Perbedaan dari segi i’rab (perubahan akhir kata).
3)
Perbedaan dalam tashrif (perubahan dari akar kata).
4)
Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan.
5)
Perbedaan dalam menggantikan huruf atau kata.
6)
Perbedaan dalam menambah atau mengurangi.
7)
Perbedaan dalam dialek bacaan tafkhim (tebal), tarqiq
(tipis), imalah, izhhar, dan idgham.
e. Tujuh huruf diartikan bilangan yang sempurna. Jadi, kata
tujuh diartikan banyak dan sempurna sebagaimana angka tujuh ketika menempati
posisi puluhan, ratusan, atau ribuan, dan seterusnya.
B. Pertumbuhan Ilmu Qira’ah
Tumpuan utama al-Qur’an al-Karim adalah
bertemu dan mengambil langsung, seorang tsiqat dari tsiqat lain, seorang imam
dari imam lain sampai kepada Nabi SAW. Dengan demikian tumpuan utamanya adalah
periwayatan langsung, dari lisan ke lisan lain. Ketika khalifah utsman
mengirimkan mushhaf ke berbagai kawasan, bersama setiap mushhaf mengirimkan
orang yang qira’ahnya mencocoki sebagian besarnya. Qira’ahnya ini terkadang
berbeda dengan yang berkembang di kawasan lain, yang duta dan mushhafnya juga
lain.
Selanjutnya, sahabat berbeda satu sama lain
dalam mengambil dari Rasulullah SAW. Ada yang mengambil dari beliau dengan satu
huruf, dua huruf dan ada juga yang lebih dari dua huruf. Kemudian mereka
berpencar ke berbagai kawasan, sehingga dengan begitu, berbeda-beda pula
pengambilan Al-Qur’an dari mereka dan tabi’in. Inilah awal mula pertumbuhan
ilmu qira’ah dan latar belakang keragamannya. Dalam kondisi seperti
itulah, sejumlah pakar bergerak. Mereka berusaha sedemikian rupa untuk
membedakan antara yang shahih dan yang batil, menghimpun huruf dan qira’ah,
menisbatkan wajah-wajah dan riwayat-riwayat, menjelaskan yang shahih dan yang
syadz dengan prinsip-prinsip yang mereka gali dan rukun-rukun yang mereka
rinci.
Di dalam setiap thabaqah (suatu
generasi) terdapat sejumlah orang yang terkenal dalam hal hafalan dan pembacaan
Al-Qur’an. Selanjutnya, muncul sejumlah istilah populer yang menyiratkan jumlah
qira’ah. Ilmu qira’ah pernah mengalami masa paling suram. Tetapi
kemudian muncul periode kodifikasi qira’at. Setelah itu, qira’at ketujuh imam
tersebut mulai populer di penghujung abad II H. Sampai akhir abad ke III H,
ketujuh qira’at masih tetap seperti itu, yakni belum dikodifikasi. Namun
kemudian di Baghdad al-Imam Ibn Mujahid Ahmad ibn Musa ibn Abbas bangkit dengan
menghimpun ketujuh qira’at itu. Hanya saja, beliau mengukuhkan nama al-Kisa’iy
dan membuang nama Ya’kub. Pembatasan penghimpunan ketujuh imam qira’at itu
bersifat spontanitas, tanpa ada kesengajaan terlebih dahulu.[4]
Karena banyaknya para qurra’ dan jenis-jenis
qira’ah yang hadir dalam masyarakat yang beberapa diantaranya ada yang memiliki
keteguhan, masyhur serta memiliki riwayat yang shahih dan ada pula yang
mempunyai satu sifat saja dari beberapa sifat. Maka, para ulama’ mengumpulkan
haraf dan qira’ah kemudian membedakannya antara yang masyhur dan riwayat yang
syadz, antara yang shahih dan yang tidak.[5]
Untuk menentukan diterimanya sebuah qira’at, para ulama menetapkan
kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Mutawatir, yaitu qira’at yang diturunkan dari berberapa orang
dan tidak mungkin terjadi kebohongan.
2. Sesuai dengan kaidah bahasa arab.
3. Sesuai dengan tulisan Mushhaf Ustmani.
4. Mempunyai sanad yang sahih.
Seperti halnya di dalam menetapkan hukum syara’, di dalam penerimaan sebuah
qira’at ulama juga beristinbath. Suatu qira’at hanya bisa diterima
apabila terbukti bernarasumber dari generasi sebelumnya melalui belajar membaca
qira’at tersebut. Cara ini dikenal dengan istilah musyafahah (mendengar)
sehingga sanadnya benar-benar menyambung dengan sahabat Rasulullah SAW, yang
belajar qira’at kepada Rasulullah SAW, ini membuat para ulama’ menganggap
qira’at yang dapat diterima itu tauqifiy. Artinya bukan dibuat oleh
tokoh tertentu dan bahkan buatan Rasulullah SAW. sendiri, tetapi datang dari
dan sesuai dengan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah melalui malaikat
jibril.[6]
C. Macam-Macam Qira’at
Sebagian ulama
mengklasifikasikan macam-macam Qira’at, berdasarkan kualitas sanadnya terbagi
menjadi enam macam:
1. Qira’at Mutawatir, yaitu Qira’at yang dinukil oleh sejumlah orang
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
Misalnya riwayat yang jalur-jalurnya cocok hingga ke akhir sanad, dan ini yang
dominan di dalam Qira’at.
2. Qira’at Masyhur, yaitu yang sanadnya shahih namun tidak sampai
ke tingkatan Mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm, terkenal di kalangan para Imam
Qurra’, dan mereka tidak menganggapnya keliru atau ganjil. Dan para Ulama
menyebutkan bahwa Qira’at jenis ini boleh diamalkan bacaannya.
3. Qira’at Ahad, yaitu yang sanadnya shahih, namun menyelisihi rasm atau menyelisihi kaidah bahasa
Arab, atau tidak terkenal sebagaimana terkenalnya Qira’at yang telah
disebutkan. Dan yang ini tidak diamalkan bacaannya. Dan di antara contohnya
adalah yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim rahimahullah dari Abu Bakrah r.a, bahwa Nabi Muhammad
SAW membaca:
متكئين على رفارف خضر وعباقري حسان
Dalam mushaf dibaca: مُتَّكِئِينَ عَلَى
رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ (76)
”Mereka
bertelekan pada bantal-bantal yang hijau dan permadani yang indah.” (QS. Ar-Rahman: 76)
Dan juga yang
diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas r.a,
bahwasanya beliau membaca: (surat At-Taubah ayat 128)
لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ
مِّنْ أَنْفَسِكُمْ… Dengan
menfathahkan Fa’ dalam مِّنْ أَنْفَسِكُمْ (pada Qira’at yang lain menkasrahkan Fa’).[7]
4. Qira’at Syadz, yaitu bacaan yang jalur periwayatannya tidak
sah (tidak shahih sanadnya). Misalnya: مَلَكَ يَوْمَ الدِّينِ , dengan kata kerja
bentuk lampau, yaitu مَلَكَ (malaka) dan mem-fathah-kan
kata يَوْمَ (di qira’at yang benar dengan meng-kasrah-kannya).
5. Qira’at Maudhu’, yaitu bacaan yang mengandung unsur pemalsuan
(tidak berasal dari Rasulullah SAW).[8]
6. Qira’at Mudraj, yaitu ucapan yang ditambahkan dalam qira’at
(yang shahih) dengan maksud memberikan tafsir. Misalnya qira’at Ibnu ‘Abbas r.a dalam surat Al-Baqarah ayat 198:
{ لَيْسَ عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ في مواسم الحج . }
Sehingga,
dari keempat Qira’at yaitu ahad, syadz, maudhu’ dan mudraj tidak diperbolehkan
untuk diamalkan (tidak boleh membaca al-Qur’an dengan Qira’at tersebut). Jumhur ulama berpendapat bahwa yang termasuk Qira’at Sab’ah adalah Mutawatir, maka
selain yang Mutawatir dan Masyhur maka tidak boleh membaca dengannya, baik
dalam shalat maupun di luar shalat.[10]
Dari segi kuantitas, beberapa ulama’ mengklasifikasikan qira’at kedalam tiga macam:
1. Qira'at sab'ah (qira’at tujuh) adalah qira'at yang dinisbatkan kepada
imam-imam qira’at yang tujuh dan terkenal, yaitu: Nafi' bin Abdurrahman, Ashim,
Hamzah, Abdullah bin Amir, Abdullah ibnu Katsir, Abu Amer ibnu 'Ala' dan Ali
al-Kisaiy.
2. Qira'at 'asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira'at yang tujuh ditambah
dengan tiga qira'at: Abu Ja'far, Ya'qub dan Khalaf.
3. Qira'at arba'at 'asyrah (qira’at empat belas) yaitu qira'at yang
sepuluh ditambah dengan empat qira'at: Hasan al-Bashry, Ibnu Mahish, Yahya
al-Yazidy dan asy-Syambudzy.[11]
D. Qurra’ (Imam Qira’ah)
1.
Kelompok para Qurra’
Kelompok pertama para qurra’ adalah para
qurra’ dari kalangan sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup
beliau. Sebagian dari mereka telah menghimpun Al-Qur’an seluruhnya, yaitu
mempelajari dan menghafal Al-Qur’an. Kelompok ini antara lain: Utsman, Ali,
Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari.
Kelompok kedua adalah murid-murid dari kelompok
pertama, dari generasi tabi’in dan mempunyai halqah (kelas belajar) di
kota-kota Makkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Suriah. Kelompok ini adalah Ubaid
bin ‘Umair, Ibnul Musayyab, Al-Qamah, Abu ‘Aliyah, Mughirah bin Abi Syihab, dan
lain-lain.
Kelompok ketiga adalah para qurra’ yang
hidup kurang lebih pada pertengahan pertama abad kedua Hijrah, yang belajar
kepada kelompok kedua. Kelompok ini antara lain: Ibnu Katsir, Abu Ja’far Yazid,
Nafi’, Syaibah, Yahya, ‘Ashim, Hamzah, Kisa’I, Abdullah bin Abi Ishak, Abu Amr,
Yahya bin Harits dan lain-lain. Dari beberapa imam kelompok ini termasuk dari
tujuh imam qira’ah.
Kelompok keempat adalah para murid dan orang-orang
yang meriwayatkan qira’ah dari kelompok ketiga, seperti Ibnu ‘Ilyasy, Hafs dan
Khalaf. Kelompok kelima adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, yang dikatakan
sebagai orang yang pertama kali menyusun buku tentang qira’ah, Ahmad bin Jubair
al-Kufi dan Ismail bin Ishak al-Maliki, 2 murid qalun, Abu Ja’far bin Jarir dan
Mujahid. Sesudah kelompok ini, medan pembahasan dan pengkajian ilmiah tentang
ilmu qira’ah bertambah luas sehingga orang-orang seperti ad-Dani dan
asy-Syatibi menulis risalah dalam bentuk puisi maupun prosa.[12]
2.
Nama-nama Imam Qira’ah Sab’ah
Pada
abad II Hijriyah timbul banyak bacaan sekitar 10 sampai 14 bacaan, tetapi
kemudian diseleksi oleh para ulama, 7 diantaranya yang mutawatir yang dapat
diikuti umat Islam. Mereka sangat masyhur yang disebut Qira’ah Sab’ah, Namun di
antara qurra’ tujuh Imam tersebut yang banyak diikuti oleh mayoritas umat Islam
di Indonesia yaitu qira’at Imam Ashim bin Abu An-Nujud melalui periwayatan
Hafash bin Sulaiman. [13]
Nama-nama Imam qira’at sebagai berikut:
a. Ibn Amir, namanya Abdullah al-Yahshubiy, merupakan seorang tabi’iy
terkemuka, belajar kepada Wa-tsilah Ibn al-Aqsa dan an-Nu’man ibn Basyir. Ia
mengambil qira’ah dari al – Mughirah ibn Abi Syihab al-makhzumi dari Utsman bin
Affan dari Rasulullah SAW. Dikatakan, bahwa beliau membaca dihadapan Utsman
langsung, ia wafat di Damaskus tahun 118 H. Yang masyhur meriwayatkan
qira’ahnya adalah Hisyam (mengambil qira’ah itu dari Irak ibn Khalid al-Miziy
dari Yahya ibn al-Haris al-Dzimariy dari ibn Amir) dan Ibn Dzakwan (mengambil
qira’at dari Ayyub ibn Tamim, dari Yahya ibn al-Harits dari ibn Amir).
b. Ibn Katsir, namanya Abu Muhammad atau Abu Ma’bad, Abdullah Ibn Katsir
al-Dariy. Beliau merupakan imam Makkah dalam hal qira’ah, yang berpembawaan
tenang dan wibawa. Meriwayatkan dari mujtahid dan ibn Abbas dari Ubay ibn Ka’ab
dari Rasulullah saw. Beliau berguru (qira’at) pada Abdullah ibn al-Sa’ih.
Abdullah membaca dihadapan Ubay ibn Ka’ab dan Umar ibn al-khatab. Keduanya
membaca dihadapan Rasulullah saw, wafat tahun 120 H di Makkah al-Mukaromah.
Yang masyhur meriwayatkan darinya, tetapi melalui para muridnya adalah
al-Bazziy dan Qunbul.
c. Ashim, namanya Abu Bakar Ashim ibn Abu al-Najud al-Asadiy bin
Bahdilah (salah seorang tokoh bani Khuzaimah), seorang qori yang handal,
memiliki kecermatan, kehandalan, kefashihan dan suara merdu dalam membaca
al-Qur’an. Beliau membaca dihadapan Ziir Ibn Hubaisy dihadapan Abdullah ibn
Mas’ud dihadapan Rasulullah SAW. Beliau juga membaca di hadapan Abu Abdurrahman
Abdullah ibn Hubaib, guru al-Hasan dan al-Husain. Abdurahman membaca dihadapan
Imam Ali. sedang imam Ali mengambil qira’atnya dari Rasulullah SAW. Wafat di
Kuffah tahun 127 H. yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah dan Hafash.
Keduanya tanpa perantara.
d. Abu Amr, namanya Abu Amr Zabban ibn al-Ala Ammar al-Bashriy.
Beliau termasuk paling tahu tentang qira’at, dismping memiliki kejujuran dan
kepercayaan dalam agamanya. Beliau meriwayatkan dari Mujahid ibn Jabr, Said ibn
Jubair, dari ibn Abbas dari Ubay ibn Ka’b dari Rasulullah SAW. Beliau membaca
dihadapan sejumlah orang, antara lain Abu Ja’far, Zaid ibn al-Qa’qa dan al
hasan al Bashriy. Al-Hasan membaca dihadapan Haththan dan Abu al-Aliyah. Sedang
Abu al-Aliyah membaca dihadapan Umar ibn al-Khatab. Wafat tahun 154 H. Yang
masyhur meriwayatkan darinya yaitu al-Dauriy dan al-Susi, tetapi melalui
perantaraan al-Yazidiy Abu Muhammad Yahya ibn al-Mubarak.
e. Hamzah, namanya Abu ‘Ammarah Hamzah ibn Hubaib al-Zayyat al-Kufiy
Maula Ikrimah ibn Rabi’ at-tamimiy. Beliau membaca dihadapan Abu Muhammad
Sulaiman ibn Mihran al-A’masy, dihadapan Yahya ibu Watsab, dihadapan Zirr ibn
Hubaisy, dihadapan Usman, Ali dan ibn Mas’ud, dihadapan Nabi SAW. Beliau
seorang yang sangat handal tentang kitabullah, menguasai dengan baik,
mengetahui berbagai kefardhuan dan kebahasan serta hafidz dibidang hadits.
Wafat di Hulwan tahun 156 H yang masyhur meriwayatkan darinya yaitu Khalaf dan
Khallad, tetapi dengan perantaraan Abu Isa Sulaim ibn Isa al-Hanafiy al-Kufiy.[14]
f. Nafi’, namanya adalah Abu Ruwaim Nafi’ ibn Abu Nu’aim al-Madaniy.
Mengambil qira’at dari Abu Ja’far al-Qari’y dan dari sekitar tujuh puluh
tabi’i. mereka mengambil dari Abdullah ibn Abbas dan Abu Hurairah dari Ubay ibn
Ka’b dari Rasulullah SAW. kepadanya kepemimpinan qira’at mencapai puncaknya di
Madinah al-Munawwarah. Wafat pada tahun 169 H. yang masyhur meriwayatkan
darinya antara lain Qalun dan Warasy.
g. Al-Kisa’iy, namanya Abu al-Hasan Ali ibn Hamzah al-Kisa’iy al-Nahwiy.
Diberi nama laqab dengan al-Kisa’iy al-Nahwiy. Diberi nama Laqab dengan
Kisa’iy, karena sewaktu ihram dia mengenakan baju. Abu Bakar ibn al-Anbariy
mengatakan : dalam diri al-Kisa’iy terkumpul beberapa hal, paling mahir dalam
bidang Nahwu, satu-satunya orang yang paling tahu tentang al-Gharib dan paling
pandai dalam masalah qira’at. Wafat pada tahun 189 H. yang masyhur meriwayatkan
dari beliau adalah Abu al-Harits dan al-Duriy.[15]
3.
Contoh Qira’ah
ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÊÈ = جمع القرّاء
ßôJysø9$# ¬! Å_Uu úüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ = جمع القرّاء
Ç`»uH÷q§9$# ÉOÏm§9$# ÇÌÈ = جمع القرّاء (مْ) , مِ = ح , ث
Å7Î=»B ÏQöqt ÉúïÏe$!$# ÇÍÈ =
ن , ر مَلِكِ
= سما , ف , ح
x$Î) ßç7÷ètR y$Î)ur ÚúüÏètGó¡nS ÇÎÈ = جمع القرّاء (نْ) , نُ = ح , ث
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ = عم , ح , ن ,
ر , ه
السِّرºطَ = ز الزِّرَاطَ = ف
xÞºuÅÀ tûïÏ%©!$# |MôJyè÷Rr& öNÎgøn=tã Îöxî ÅUqàÒøóyJø9$# óOÎgøn=tæ wur tûüÏj9!$Ò9$# ÇÐÈ = ج , ح, ك , ن , ر , ب.
ÞºuÅÀ +
عَلَيْهِمُوْ
= ب , ه سِّرºu Þ + عَلَيْهِمُوْ = ز ,
(ز) ÞºuÅÀ + عَلَيْهُمْ = ض ÞºuÅÀ + عَلَيْهُمْ = ق .
Keterangan:
ب = قالون ,
ج = ورش
,
ه = البزي ,
ز = قنبل ,
ح = أبو عمرو ,
ك = ابن عامر ,
ن = عاصم ,
ف
= حمزة ,
ض = خلف ,
ق = خلاد ,
ر = الكسائي ,
ث = عاصم و حمزه و على الكوفيون , عم = نافع و ابن عامر ,
سما = نافع و ابن كثير وأبو عمرو .
E. Urgensi Mempelajari Qira’at dan Pengaruhnya Dalam Istinbath (Penetapan) Hukum
1. Urgensi mempelajari qira’at
a. Dapat menguatkan
ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama’.
b. Dapat men-tarjih hukum
yang diperselisihkan para ulama’.
c. Dapat menggabungkan dua
ketentuan hukum yang berbeda.
d. Dapat menunjukkan dua
ketentuan hukun yang berbeda dalam kondisi yang berbeda pula.
e. Dapat memberikan penjelasan
terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.
2. Pengaruh qira’at dalam
Istinbath hukum
Perbedaan
antara satu qira’at dan qira’at lainnya bisa terjadi pada perbedaan huruf,
bentuk kata, susunan kalimat, penambahan dan pengurangan kata.
Perbedaan-perbedaan ini meskipun tidak secara keseluruhan akan berpengaruh kepada hukum yang diinstinbathkan
daripadanya. Gambaran yang jelas tentang pengaruh qiraah
terhadap istinbat hukum, misalnya:
a. Surat Al-Baqarah [2] : 222
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu
menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati
mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka
itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”. (Q.S.
Al-Baqarah [2] : 222)
Berkaitan dengan ayat
diatas, di antara imam qira’at tujuh yaitu Abu Bakar Syu’bah (qira’at Ashim
riwayat Syu’bah, Hamzah dan al-Kisai membaca kata “yathhurna” dengan
memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka bunyinya menjadi “yaththahharna”.
Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqh berbeda pendapat sesuai
dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhurna”
berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya
yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya arah haid.
Sementara yang membaca “yaththahharna” menafsirkan bahwa seorang suami
tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
b. Surat Al-Maa’idah [5] : 6
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ….” (Al-Maa’idah
[5] : 6)
Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, ibn Amir, Hafs dan al-Kisai
membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lain membacanya
dengan “arjulikum”. Dengan membaca arjulakum mayoritas ulama berpendapat
wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan dengan meyapunya.
Pendapat ini mereka perkuat dengan beberapa hadits. Ulama-ulama Syiah Iamamiyah
berpegang pada bacaan arjulikum sehingga mereka mewajibkan menyapu kedua kaki
dalam wudhu”. Pendapat yang sama diriwayatkan juga dari ibn Abbas dan Anas bin
Malik.[16]
[1]Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Urfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002), hlm. 423.
[2]Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah
Memahami Firman Tuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.143-144.
[3]Abdul Majid
Khon, Edisi Revisi Praktikum Qira’at..., hlm. 30-31.
[4]Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Urfan..., hlm. 424-427.
[5]Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta:PT.
Bulan Bintang, 1989), hlm. 79.
[6]Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, hlm 136-137.
[7]Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Urfan..., hlm. 438-439.
[8]Ahmad Shams Madyan, Peta Pembelajaran Al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 143.
[9]Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Urfan..., hlm. 439.
[10]Acep Hermawan, ‘Ulumul Qur’an, (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2011) hlm 138.
[11]Rosihon Anwar, Ulum Al- Qur’an, hlm.
149-151.
[12]Allamah M.H. Thabathabari, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an,
(Bandung: Mizan, 1993), hlm. 135-137.
[13]Abdul Majid Khon, Praktikum Qira’at: Keanehan Bacaan
Al-Qur’an Qira’at Ashim dan Hafash, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 34-35.
[14]Abdul Adzim Al-Zarqani, Manahil
Al-‘Urfan..., hlm. 463-467.
[15]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang:PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm.
141.
[16] Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, hlm. 155-159.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar