Hadits
sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an menempati posisi yang
sangat penting dan strategis di dalam kajian-kajian keIslaman. Keberadaan dan
kedudukannya tidak diragukan lagi. Para
sahabat Nabi SAW dan tabi’in tidak pernah saling
meragukan dalam
menerima hadits yang dituturkan oleh sahabat sesudah wafatnya beliau.
Tetapi keadaan ini berubah setelah adanya fitnah. Setelah saat itu, sikap para
ulama’ dari kalangan sahabat dan tabi’in bersikap hati-hati dalam penuturan
hadits dan tidak menerima kecuali yang diketahui bagaimana jalan penuturan dan
para tokoh penutur (rawi), kecuali jika mereka merasa mantap dengan
tingkat kehandalan dan kejujurannya.[1]
Oleh sebab itu, karena pembukuan hadits baru dilakukan ratusan tahun
setelah nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa
banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beredar
dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli. Untuk itu, mereka
membuat kaedah-kaedah, ketentuan dan kajian lain mengenai penelitian hadits,
termasuk kajian mengenai kesahihan sanad hadits. Maka dari itu dalam makalah
ini akan mencoba mengulas beberapa hal mengenai kaedah kesahihan sanad hadits.
A. Definisi Kaedah Kesahihan Sanad Hadits
Sanad
secara bahasa berarti al-mu’tamad (آَلْمُعْتَمَدُ), yaitu yang diperpegangi (kuat) atau bisa
dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan:
مَارَتْفَعَ
مِنَ الْاَرْضِ
Yaitu
sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah.
Secara terminologis,
definisi sanad ialah:
هُوَ
طَرِيْقُ الْمَتَنِ ، اَيْ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ نَقْلُوْا الْمَتَنَ
مِنْ مَصْدَرِهِ الأوَّلِ
Sanad adalah jalannya matan, yaitu
silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang
pertama.[2]
Kata “Sanad”
menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran.
Dikatakan demikian, karena hadis besandar kepadanya.[3] Menurut
Istilah ahli hadits, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan
hadits.[4] Yang
berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad
(menyandarkan, mengembalikan ke asal, dan mengangkat), al-musnid (hadits
yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang), dan al-musnad (hadits
yang disebut dengan menerangkan sanadnya sampai kepada Nabi Saw / nama kitab
hadits).[5]
Sedangkan kata
hadis berasal dari bahasa Arab, yakni al-Hadis. Dari segi bahasa, kata
ini memiliki banyak arti, diantaranya al jadid (yang baru), al-khobar
(kabar atau berita). Sedangkan menurut istilah, ulama hadis mendefinisikan
hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa
perkataan, perbuatan, takrir maupun sifat-sifatnya.[6]
Ulama’ hadits telah menciptakan berbagai kaedah, diantaranya yaitu kaedah
kesahihan sanad hadits, yakni berisi segala syarat, kriteria, atau unsur yang
harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Segala syarat,
kriteria, atau unsur dikatakan berstatus umum, bersifat jami’ dan mani’. Segala
syarat, kriteria, atau unsur itu melingkupi seluruh bagian sanad, tetapi masih
dalam batas tidak terinci. Sedangkan segala syarat, kriteria, atau unsur
dinyatakan bersifat khusus, karena keberadaannya merupakan rincian lebih lanjut
dari masing-masing syarat, kriteria, atau unsur umum tadi.[7]
Dalam
studi hadits persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur
penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits sebagai sumber
otoritas ajaran Nabi Muhammad SAW. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan
antara satu dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah
satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu
hadits. Karenanya, seperti disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad
tidak dapat disebut hadits; demikian sebaliknya matan yang sangat
memerlukan keberadaan sanad. Karena suatu
sumber berurusan dengan sanad dan matan, di samping juga
persoalan detailnya seperti : dari siapa sesungguhnya hadits diterima, siapa
yang membawanya sehingga terhubung kepada Nabi Muhammad SAW; juga keaslian
sumber (sanad serta matan) yang telah dibawanya.[8]
Sanad merupakan salah satu neraca yang
menimbang shahih atau dha’ifnya suatu hadits. Apabila salah
seorang dalam sanad ada yang fasik / tertuduh dusta / setiap para pembawa
berita dalam mata rantai tidak bertemu langsung, maka hadits tersebut dha’if
sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.[9] Dengan dilakukannya kegiatan kritik sanad, maka akan
dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari nabi.[10]
B. Unsur-Unsur Kaedah Kesahihan
Sanad Hadits
Keberadaan suatu hadits
yang tercantum dalam berbagai kitab hadits ditentukan juga oleh
keberadaan dan kualitas sanad-nya. Imam al-Nawȃwiy berpendapat
sebagaimana yang dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa bila sanad suatu
hadits berkualitas shahȋh maka hadits tersebut dapat diterima,
dan apabila sanad-nya tidak shahȋh maka hadits
tersebut harus ditinggalkan.[11] Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah, dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Shalah: ”Hadis
shahȋh adalah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat yang
adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan, dan tidak cacat (illat)”.
Kemudian al-Nawȃwiy menyetujui
defenisi tersebut dan meringkaskannya yang
diikuti oleh mayorits ulama hadis, yaitu: ”Hadis yang
bersambung sanad-nya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith serta
tidak terdapat dalam hadis itu kejanggalan dan tidak cacat”.[12]
Dari
persetujuan diatas, kemudian terbentuklah beberapa kaedah. Adapun unsur-unsur dari kaedah mayor kesahihan sanad hadits, antara lain:
1.
Tidak boleh
diterima suatu riwayat hadits, terkecuali berasal dari orang-orang yang tsiqoh.
2.
Hendaklah
orang yang akan memberikan riwayat hadits itu diperhatikan ibadah
sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya.
3.
Tidak boleh
diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan
hadis.
4.
Tidak boleh
diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, dan tidak mengerti
hadis yang diriwayatkannya.
5.
Tidak boleh
diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[13]
Selain
kaedah mayor di atas, ulama juga memunculkan adanya kaedah minor yaitu:
1.
Sanad-nya bersambung
Yang
dimaksud dengan sanad bersambung adalah bahwa setiap perawi dalam rangkaian
sanad tersebut harus benar-benar menerima riwayat hadits itu dari perawi
terdekat sebelumnya, dan kondisi seperti ini harus terjadi pada semua perawi
dalam sanad tersebut mulai dari mukharrij (orang yang membukukan hadits) sampai
pada perawi sahabat. Dengan demikian hadits-hadits yang munqathi’, mu’dlal,
mu’allaq, mudallas, dan mursal tidak masuk ke dalamnya.[14]
Terdapat beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, di antaranya sebagai berikut:
a. Mencatat semua perawi dalam sanad yang akan diteliti.
b. Mempelajari sejarah
hidup-hidup masing-masing perawi.
c. Meneliti kata-kata atau
simbol-simbol pengungkapan yang menghubungkan antara perawi dengan perawi
terdekat dalam sanad seperti: haddatsa, akhbara, ‘an atau anna dan lainnya.
d. Meneliti latar belakang guru dan
murid.[15]
2.
Seluruh periwayat dalam
sanad hadits
bersifat ‘adil
Pada umumnya
periwayat hadits dianggap adil apabila telah memenuhi beberapa kriteria yaitu:
beragama Islam, baligh, berakal sehat, selamat dari ke-fasiq-an, dan selamat
dari kepribadian yang jelek. Sedangkan untuk mengetahui dan menetapkan keadilan
para perawi, para ulama berpedoman kepada:
a. Popularitas keutamaan perawi di kalangan para ulama
hadits.
b. Penilaian dari para ahli Jarh wa al-Ta’dil.
c. Penerapan kaidah al-Jarh wa al-ta’dil dalam hal
terjadi pertentangan penilaian oleh para ahli tersebut.[16]
3.
Seluruh periwayat dalam
sanad bersifat dhabith
Syuhudi Ismail mengemukakan dengan
mengutip pendapat Ibnu Hajar bahwa dhabith adalah orang yang kuat
hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya
itu kapan saja dia menghendakinya.
Untuk
mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi hadis, dapat dilakukan
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a.
Berdasarkan kesaksian
dan pengakuan terhadap ke-dhabit-annya dari para ulama yang hidup
sezaman dengan periwayat.
b.
Berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah
dikenal ke-dhabit-annya. Tingkat
kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai pada makna / harfiahnya.
c.
Apabila seorang
periwayat sekali mengalami kekeliruan, maka masih dapat dinyatakan sebagai
periwayat yang dhabit, namun apabila kesalahan itu sering terjadi maka tidak
lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.[17]
4.
Sanad
hadis itu terhindar daru syudzȗdz
Maksud syudzȗdz
disini adalah apabila suatu hadits diriwayatkan oleh
seorang perawi tsiqah tetapi bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh para perawi lain yang juga bersifat tsiqah. Oleh sebab
itu, yang dimaksud dengan terhindar dari kejanggalan disini bawha hadits
tersebut tidak ada pertentangan dengan hadits lain.[18]
Syuhudi Ismail mengatakan bahwa ke-syȃdz-an
sanad hadis baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai
berikut:
a.
Menghimpun dan
membandingkan semua jalur sanad hadis yang matan-nya mengandung
pokok masalah yang sama.
b.
Meneliti kualitas para
perawi yang terdapat pada semua jalur sanad
c.
Apabila semua perawi
adalah tsiqah dan ternyata ada seorang perawi yang menyalahi yang lain,
maka dapat dikatakan bahwa sanad yang menyalahi itu adalah sanad
syȃdz dan yang lainnya disebut mahfȗzh (terpelihara).[19]
5.
Sanad
hadis itu terhindar dari ‘illat.
Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadis,
adalah suatu cacat tersembunyi yang
dapat merusak kualitas hadits yang tampak secara lahir berkualitas shahih. Cacat tersembunyi itu dapat berupa ketidak
bersambungan sanad yang sulit dilacak secara biasa dan juga bisa berupa
kelemahan perawi yang juga sulit dinilai secara biasa.[20]
C.
Praktek Mengetahui Kualitas Sanad
Hadits
Riwayat
hadits yang mukharrij-nya Imam Muslim:
حَدَثَناَ أَبُو
بَكْرٍ بْنُ اَبِى شَيْبَةَ ,حَدَثَنَا وَكِيْعٌ عَنْ سُفْيَانَ.ح. وَحَدَثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى. حَدَثَنَا مُحَمَّدَ
بْنُ جَعْفَرٍ حَدَثَنَا شُعْبَةُ ,كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ
عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهذَا حَدِيْثُ أَبِى بَكْرِ. فَقَالَ: أَوَّلُ
مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ. فَقَامَ
إِلَيْهِ رَجُلٌ. فَقَالَ: اَلصَّلَاةُ قَبْلَ الخُطْبَةِ. فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَاهُنَالِكَ.
فَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ: أَمَّا هذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ. سَمِعْتُ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَاى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (أخرجه مسلم ([21]
Contohnya hadits yang
berbunyi مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرَا
atau yang semakna dengan itu. Dalam melakukan penelitian hadis ini, yang harus
dilakukan lebih dahulu adalah melacaknya dari berbagai macam kitab koleksi para
kolektor hadis, diantaranya adalah pada kitab-kitab sebagai berikut:
1. Muslim
dalam Shahih Muslim, Juz 1 halaman 69.
2. Abu
Daud dalam Sunan Abi Daud, Juz I, halaman 297, dan Juz IV, halaman 123.
3. At-Turmuzi
dalam Sunan al-Turmudzi, Juz III, halaman 317-318.
4. An-Nasa’I
dalam Sunan Al-Nasa’i, Juz VIII, halaman 111-112.
5. Ibnu
Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 406 dan Juz II, halaman
1330.
6. Ahmad
bin Hambal dalam Musnad Ahmad, Juz III, halaman10, 20, 49, 52-53 dan 92.[22]
Berikut
ini urutan periwayatan dan sanad untuk hadits di atas:
Nama
Periwayat
|
Urutan
sebagai Periwayat
|
Urutan
sebagai Sanad
|
1.
Abu Sa’id
2.
Tariq bin Syihab
3.
Qais bin Muslim
4.
Sufyan
5.
Syu’bah
6.
Waqi’
7.
Muhammad bin Ja’far
8.
Abu Bakr bin Abi Syaibah
9.
Muhamamad bin al-Musanna
10.
Muslim
|
Periwayat
I
Periwayat
II
Periwayat
III
Periwayat
IV
Periwayat
IV
Periwayat
V
Periwayat
V
Periwayat
VI
Periwayat
VI
Periwayat
VII
|
Sanad
VI
Sanad
V
Sanad
IV
Sanad
III
Sanad
III
Sanad
II
Sanad
II
Sanad
I
Sanad
I
(Mukharrijul
hadits)
|
Selain kedua sanad,
masih ada sebuah sanad Muslim melalui Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la;
bunyi matan-nya hanya dinyatakan sebagai “sama dengan hadits yang
ber-sanad Syu’bah dan Sufyan di atas”. Dari uraian di atas maka dapatlah
dikemukakan skema sanad hadits riwayat Muslim tentang mengatasi
kemungkaran sebagai berikut:[23]
|
|
Untuk meneliti periwayat hadits, penelitian dapat dimulai
pada periwayat pertama ataupun periwayat terakhir (Mukharrij). Pada penelitiaan
kali ini penelitian akan di mulai pada periwayat pertama, yakni Abu Sa’id Al
Khudry yang kemudian dilanjutkan pada periwayat periwayat selanjutnya sampai
pada periwayat terakhir (Mukharrij), yakni Imam Muslim.
إتصال السند
|
قول النقاد
|
روى عنه
|
روى عن
|
توفى
|
كنية ولقب
|
نسب
|
اسم
|
رمز
|
متصل
|
قال إسحاق بن منصور عن يحيي بن
معين, وأبو زرعة, وأبو حاتم : ثقة[24]
|
ضمرة بن سعيد المازني, وطارق
بن شهاب, وعاصم بن شميخ الغيلاني
|
النبي صلى الله عليه وسلم, و عن عسيد بن حضير, وجابر بن عبد الله
|
٧٤
|
أبو سعيد الخدري
|
سعد بن مالك بن سنان بن عبيد
الأبحر, وهو خدرة بن عوف بن الحارث بن الخزرج الأنصري, أبو سعيد الخدري, صاحب
رسول الله
|
أبو سعيد الخذرى
|
١
|
متصل
|
العجلى : وهو ثقة
|
اسما عيل بن ا بى خالد,وقيس
بن مسلم, ومخا رق الا حمس, وعلقمة بن مر ثد, وسماك بن حرب ,و جماعة [25]
|
عن الخلفاء الاربعة, وبلال,
وحذيفة, وخالد بن الوليد, وسعدو وابن مسعود ,أبي سعيد, كعب بن
عجرة, وغيرهم
|
٨٢
٨٣
٨٤
|
ابو عبد الله الكو فى
|
بن عبد شمس بن هلا ل بن سلمة بن
عو ف بن جشم البجلى الا حمسى
|
طارق بن
شها ب
|
٢
|
متصل
|
على عن يحيى : كان مرجئا, وهو
أثبت من أبى قيس
أبو داود : كان مرجئا
النساء : الثقة[26]
|
الأ عمش, وشعبة,
والثورى, ومسعر, و مالك بن مغول
|
طارق بن شهاب, والحسن ابن محمد بن الحنفية, ومجاهد, وعبدالرحمن
بن أبى ليلى, وسعيد بن زبير.
|
١٢٠
|
ابو عمرو الكوفى
|
بن مسلم الجد لى العدوانى
|
قيس بن مسلم
|
٣
|
متصل
|
ابن سعد : كا ن ثقة مأمونا
العجلى : ثقة[27]
|
أيوب, والأعمش, وسعد بن ابراهيم,
ومحمد بن جعفر
|
ابراهيم بن عا مر بن مسعود, و
ابرهيم بن محمد المنتشر, واسماعيل بن ابي جالد, و قيس بن مسلم
|
١٦٠
|
أبو بسطا م
الو اسطى
|
بن الحجاج بن الورد العتكى
الأزدى
|
شعبة
|
٤
|
متصل
|
ابن المد ينى : هو أحب إلى من
عبد الر حمن فى شعبة
ابن مهدى : كنا نستفيد من كتب
غند ر فى حيا ة شعبة, وكا ن وكيع يسميه الصحيح الكتاب[28]
|
احمد بن حنبل, واسحاق بن راهويه,
ويحيى بن معين, وعلى بن المدينى, وأبوموسى
|
شعبة, وعبدالله بن سعيد ابن أبى هند, وعوف الأعرابى,
ومعمر بن راشد
|
٢٣٦
٢٣١
|
ابو عبدالله
البصرى المعروف
بغندر, صاحب الكرابيس
|
بن جعفر الهذ لي
|
محمد بن جعفر
|
٥
|
متصل
|
عبدالله بن أحمد عن ابن معين :
ثقة
|
أبو زُرْعة, وأبو حاتم, ومحمد بن
إسحاق بن خزيمة, مسلم
|
عبدالله
بن إدريس, وأبى معاوية, ومحمد بن عبدالله الانصارى
|
٢٥٢
٢٥١
٢٥٠
|
أبو مو سى البصرى
|
بن عبيد بن قيس بن دينار العنزى
|
محمد بن المثنى
|
٦
|
متصل
|
على بن المدينى : ما فى أصحا ب
الز هر ى أتقن من ابن عيينة
وقا ل العجلى : ثقة[30]
|
الأعمش, وابن جر يج, وشعبة, ووكيع
|
قيس بن مسلم و الاسود بن قيس, وحميد بن قيس الاعرج, عبد الملك
بن عمير, وايوب ابن موسى
|
١٩٨
١٩٧
|
ميمون الهلا لى, أبو محمد الكو
فى
|
بن عيينة بن أبى عمران
|
سفيان
|
٧
|
متصل
|
ابن سعد : ثقة
العجلى : ثقة, صا لح[31]
|
عبد الرحمن بن مهدى, وأحمد,
ويحيى, وإبن أبى شيبة, وأبو خَيْثَمة
|
إسماعيل بن أبى خالد, والاعمش و
سفيان الثورى, وشعبة, والحميد بن جعفر
|
٢٠٤
٢٠٣
|
أبو سفيا ن الكو فى الحا فظ
|
بن الجراح بن مليح الر ؤاسى
|
وكيع
|
٨
|
متصل
|
العجلى : ثقة, وكان حافظا للحد
يث
أبو حاتم وابنخراش : ثقة[32]
|
ومسلم, وأبو داود, وابن ماجه, وزكريا السا جى
|
أبى الأ حوص, وعبد الله بن
ادريس, وابن المبارك, ووكيع
|
٢٣٥
|
عبدالله بن محمد بن أبى شيبة
|
ابراهيم بن عثما ن بن خوا ستى
العبسى
|
أبو بكر بن أبي شيبة
|
٩
|
Dari kegiatan diatas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa
sanad hadits tersebut tidak berkualitas sebagai sanad yang mutawattir tetapi
berstatus ahad. Karena jumlah dari sanad hadits
tersebut tidak memenuhi hadits mutawattir.
Mengenai keseluruhan sanadnya hadits tersebut semua
periwayat berstatus atau bersifat tsiqah (adil dan dhabit), sanadnya pun
juga bersambung (muttashil), terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan
terhindar dari illat (cacat).
Dengan demikian hadits tersebut berkualitas shahih
li dzatih, karena sanad tersebut menuhi lima syarat dari hadits shahih
yaitu:
1.
Sanad
hadits itu harus bersambung (Ittishal al sanad)
Maksudnya sanad hadits tersebut sejak daru mukhorrijnya sampai kepada
nabi tidak ada yang terputus, hal ini dapat di lihat dalam table ketersambungan
sanad.
2.
Para
perowi yang meriwayatkan hadist itu haruslah orang yang bersifat adil
(terpercaya). Arti adil di sini ialah bersifat-sifat:
a.
Istiqomah
dalam agamanya yaitu Islam.
b.
Akhlaknya
baik
c.
Tidak
fasiq (tidak banyak melakukan dosa kecil apalagi dosa besar),
d.
Memelihara
muru’ah (memelihara kehormatanya).
3.
Para
perowi yang meriwayatkan hadits itu, haruslah bersifat dhabit.
Arti dhabith adalah memiliki ingatan dan hafalan yang
sempurna. Gabungan dari sifat adil dan dhabit, biasanya di sebut dengan istilah
tsiqah. Jadi, orang yang tsiqah pasti adil dan dhabit, tetapi orang yang
adil saja atau dhabit saja belumlah termasuk orang yang tsiqah.
4.
Apa
yang berkenan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada kejanggalan-kejanggalan
(Syudzuz). Yang di maksud syudzud adalah apa yang sebenarnya berlawanan
dengan keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah, atau bertentangan dengan
haditst yang lebih kuat.
5.
Apa
yang berkenan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada sama sekali cacatnya.[33]
Dari pembahasan tentang “Kaedah
Kesahihan Sanad Hadits” dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan sanad hadits, yakni
berisi segala syarat, kriteria, atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanad
hadits yang berkualitas sahih. Unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadits yaitu:
kaedah mayor (berasal dari orang yang tsiqoh; diperhatikan ibadah
sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya; tidak boleh apabila tidak dikenal
memiliki pengetahuan hadis; tidak boleh suka berdusta, dan tidak mengerti hadis
yang diriwayatkannya; dan tidak boleh dari orang yang ditolak kesaksiannya) dan
kaedah minor (Sanad-nya bersambung; Seluruh periwayat dalam sanad
hadits bersifat ‘adil; Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith;
Sanad hadis itu terhindar daru syudzȗdz dan Sanad hadis
itu terhindar dari ‘illat).
Dari praktek mengetahui kualitas sanad hadits yang diriwayatkan imam muslim di
simpulkan bahwa sanad
hadits tersebut tidak berkualitas sebagai sanad yang mutawattir tetapi
berstatus ahad. Keseluruhan sanadnya, hadits tersebut semua periwayat berstatus
atau bersifat tsiqah, sanadnya pun juga bersambung, terhindar dari
kejanggalan (syudzudz) dan terhindar dari illat (cacat). Dengan demikian
hadits tersebut berkualitas shahih li dzatih.
[1]Musthafa Al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya
dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 56.
[2]Sohari Sahrani,Ulumul Hadits, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 129-130.
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm.45.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2002), hlm. 147.
[5]Siti Mujibatun, Joseph Schacht dan Teori
Projecting Back (Kritik atas Kritik Sistem Isnad Dalam Periwayatan Hadis),
(Semarang: RaSAIL, 2014), hlm. 18.
[6]Sohari Sahrani, Ulumul..., hlm. 1-2.
[7]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan
Tinjaun dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995),
hlm.9-10.
[10]Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 76.
[13]Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan…, hlm. 120.
[15]Abdurrahman, Metode Kritik
Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.14.
[19]Syuhudi Ismail, Kaidah kesahihan…, hlm. 144.
[21]Thob’i Ali Nufqhah, Shahih Muslim Juz I,
(Bandung: Syirkah Al-Ma’arif Li Thab’I Wan Nasyr, tt), hlm. 69.
[22]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian…,
hlm. 54.
[24] Abu Al Mahassin
Syam Al Din Muhammad bin Ali Hussain A Mizzi, Tahdzib al Kamal fi Asma’ al
Rijal Jilid 7, (Beirut: Daar Al Fikr, 1994), hlm. 103-104
[25]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib
Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm. 4-5.
[26]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib
Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm.
374-375.
[27]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib
Al Tahdzib Jilid 4, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm.
308-314.
[28]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib
Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm.
519-521.
[29] Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib
Al Tahdzib Jilid 6, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm. 30-31.
[31] Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 6, (Beirut
: Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm 519-521.
[33]M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung :
Angkasa, 1991), hlm. 179-180.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar