Jumat, 29 Januari 2016

KAEDAH KESAHIHAN SANAD HADITS



Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an menempati posisi yang sangat penting dan strategis di dalam kajian-kajian keIslaman. Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan lagi. Para sahabat Nabi SAW dan tabi’in tidak pernah saling meragukan dalam menerima hadits yang dituturkan oleh sahabat sesudah wafatnya beliau. Tetapi keadaan ini berubah setelah adanya fitnah. Setelah saat itu, sikap para ulama’ dari kalangan sahabat dan tabi’in bersikap hati-hati dalam penuturan hadits dan tidak menerima kecuali yang diketahui bagaimana jalan penuturan dan para tokoh penutur (rawi), kecuali jika mereka merasa mantap dengan tingkat kehandalan dan kejujurannya.[1] Oleh sebab itu, karena pembukuan hadits baru dilakukan ratusan tahun setelah nabi Muhammad SAW wafat, ditambah lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka keabsahan hadits-hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan oleh para ahli. Untuk itu, mereka membuat kaedah-kaedah, ketentuan dan kajian lain mengenai penelitian hadits, termasuk kajian mengenai kesahihan sanad hadits. Maka dari itu dalam makalah ini akan mencoba mengulas beberapa hal mengenai kaedah kesahihan sanad hadits.

A.      Definisi Kaedah Kesahihan Sanad Hadits
Sanad secara bahasa berarti al-mu’tamad (آَلْمُعْتَمَدُ), yaitu yang diperpegangi (kuat) atau bisa dijadikan pegangan atau dapat juga diartikan:
مَارَتْفَعَ مِنَ الْاَرْضِ
Yaitu sesuatu yang terangkat (tinggi) dari tanah.
Secara terminologis, definisi sanad ialah:
هُوَ طَرِيْقُ الْمَتَنِ ، اَيْ سِلْسِلَةُ الرُّوَاةِ الَّذِيْنَ نَقْلُوْا الْمَتَنَ مِنْ مَصْدَرِهِ الأوَّلِ
Sanad adalah jalannya matan, yaitu silsilah para perawi yang memindahkan (meriwayatkan) matan dari sumbernya yang pertama.[2]

Kata “Sanad” menurut bahasa adalah “sandaran”, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis besandar kepadanya.[3] Menurut Istilah ahli hadits, sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.[4] Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad (menyandarkan, mengembalikan ke asal, dan mengangkat), al-musnid (hadits yang disandarkan atau diisnadkan oleh seseorang), dan al-musnad (hadits yang disebut dengan menerangkan sanadnya sampai kepada Nabi Saw / nama kitab hadits).[5]
Sedangkan kata hadis berasal dari bahasa Arab, yakni al-Hadis. Dari segi bahasa, kata ini memiliki banyak arti, diantaranya al jadid (yang baru), al-khobar (kabar atau berita). Sedangkan menurut istilah, ulama hadis mendefinisikan hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir maupun sifat-sifatnya.[6]
Ulama’ hadits telah menciptakan berbagai kaedah, diantaranya yaitu kaedah kesahihan sanad hadits, yakni berisi segala syarat, kriteria, atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Segala syarat, kriteria, atau unsur dikatakan berstatus umum, bersifat jami’ dan mani’. Segala syarat, kriteria, atau unsur itu melingkupi seluruh bagian sanad, tetapi masih dalam batas tidak terinci. Sedangkan segala syarat, kriteria, atau unsur dinyatakan bersifat khusus, karena keberadaannya merupakan rincian lebih lanjut dari masing-masing syarat, kriteria, atau unsur umum tadi.[7]
Dalam studi hadits persoalan sanad dan matan merupakan dua unsur penting yang menentukan keberadaan dan kualitas suatu hadits sebagai sumber otoritas ajaran Nabi Muhammad SAW. Kedua unsur itu begitu penting artinya, dan antara satu dengan yang lain saling berkaitan erat, sehingga kekosongan salah satunya akan berpengaruh, dan bahkan merusak eksistensi dan kualitas suatu hadits. Karenanya, seperti disebutkan, suatu berita yang tidak memiliki sanad tidak dapat disebut hadits; demikian sebaliknya matan yang sangat memerlukan keberadaan sanad. Karena suatu sumber berurusan dengan sanad dan matan, di samping juga persoalan detailnya seperti : dari siapa sesungguhnya hadits diterima, siapa yang membawanya sehingga terhubung kepada Nabi Muhammad SAW; juga keaslian sumber (sanad serta matan) yang telah dibawanya.[8]
Sanad merupakan salah satu neraca yang menimbang shahih atau dha’ifnya suatu hadits. Apabila salah seorang dalam sanad ada yang fasik / tertuduh dusta / setiap para pembawa berita dalam mata rantai tidak bertemu langsung, maka hadits tersebut dha’if sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.[9] Dengan dilakukannya kegiatan kritik sanad, maka akan dapat diketahui apakah sesuatu yang dinyatakan sebagai hadis Nabi itu memang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan berasal dari nabi.[10]
B.      Unsur-Unsur Kaedah Kesahihan Sanad Hadits
Keberadaan suatu hadits yang tercantum dalam berbagai kitab hadits ditentukan juga oleh keberadaan dan kualitas sanad-nya. Imam al-Nawȃwiy berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh Syuhudi Ismail bahwa bila sanad suatu hadits berkualitas shahȋh maka hadits tersebut dapat diterima, dan apabila sanad-nya tidak shahȋh maka hadits tersebut harus ditinggalkan.[11] Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu al-Shalah, dalam kitabnya Muqaddimah Ibn al-Shalah: ”Hadis shahȋh adalah hadis yang bersambung sanad-nya, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith sampai akhir sanad, tidak terdapat kejanggalan, dan tidak cacat (illat)”.
Kemudian al-Nawȃwiy menyetujui defenisi tersebut dan meringkaskannya  yang diikuti oleh mayorits ulama hadis, yaitu: ”Hadis yang bersambung sanad-nya diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith serta tidak terdapat dalam hadis itu kejanggalan dan tidak cacat”.[12]
Dari persetujuan diatas, kemudian terbentuklah beberapa kaedah. Adapun unsur-unsur dari kaedah mayor kesahihan sanad hadits, antara lain:
1.    Tidak boleh diterima suatu riwayat hadits, terkecuali berasal dari orang-orang yang tsiqoh.
2.    Hendaklah orang yang akan memberikan riwayat hadits itu diperhatikan ibadah sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya.
3.    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis.
4.    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang-orang yang suka berdusta, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya.
5.    Tidak boleh diterima riwayat hadis dari orang yang ditolak kesaksiannya.[13]
Selain kaedah mayor di atas, ulama juga memunculkan adanya kaedah minor yaitu:
1.    Sanad-nya bersambung
Yang dimaksud dengan sanad bersambung adalah bahwa setiap perawi dalam rangkaian sanad tersebut harus benar-benar menerima riwayat hadits itu dari perawi terdekat sebelumnya, dan kondisi seperti ini harus terjadi pada semua perawi dalam sanad tersebut mulai dari mukharrij (orang yang membukukan hadits) sampai pada perawi sahabat. Dengan demikian hadits-hadits yang munqathi’, mu’dlal, mu’allaq, mudallas, dan mursal tidak masuk ke dalamnya.[14]
Terdapat beberapa langkah dalam mengetahui bersambung tidaknya suatu sanad, di antaranya sebagai berikut:
a.    Mencatat semua perawi dalam sanad yang akan diteliti.
b.    Mempelajari sejarah hidup-hidup masing-masing perawi.
c.    Meneliti kata-kata atau simbol-simbol pengungkapan yang menghubungkan antara perawi dengan perawi terdekat dalam sanad seperti: haddatsa, akhbara, ‘an atau anna dan lainnya.
d.   Meneliti latar belakang guru dan murid.[15]
2.    Seluruh periwayat dalam sanad hadits bersifat ‘adil
Pada umumnya periwayat hadits dianggap adil apabila telah memenuhi beberapa kriteria yaitu: beragama Islam, baligh, berakal sehat, selamat dari ke-fasiq-an, dan selamat dari kepribadian yang jelek. Sedangkan untuk mengetahui dan menetapkan keadilan para perawi, para ulama berpedoman kepada:
a.    Popularitas keutamaan perawi di kalangan para ulama hadits.
b.    Penilaian dari para ahli Jarh wa al-Ta’dil.
c.    Penerapan kaidah al-Jarh wa al-ta’dil dalam hal terjadi pertentangan penilaian oleh para ahli tersebut.[16] 
3.    Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith
Syuhudi Ismail mengemukakan dengan mengutip pendapat Ibnu Hajar bahwa dhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia menghendakinya. Untuk mengetahui ke-dhabit-an seorang perawi hadis, dapat dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a.    Berdasarkan kesaksian dan pengakuan terhadap ke-dhabit-annya dari para ulama yang hidup sezaman dengan periwayat.
b.    Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dhabit-annya. Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya sampai pada makna / harfiahnya.
c.    Apabila seorang periwayat sekali mengalami kekeliruan, maka masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dhabit, namun apabila kesalahan itu sering terjadi maka tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dhabit.[17]
4.    Sanad hadis itu terhindar daru syudzȗdz
Maksud syudzȗdz disini adalah apabila suatu hadits diriwayatkan oleh seorang perawi tsiqah tetapi bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh para perawi lain yang juga bersifat tsiqah. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan terhindar dari kejanggalan disini bawha hadits tersebut tidak ada pertentangan dengan hadits lain.[18]
Syuhudi Ismail mengatakan bahwa ke-syȃdz-an sanad hadis baru dapat diketahui setelah diadakan penelitian sebagai berikut:
a.    Menghimpun dan membandingkan semua jalur sanad hadis yang matan-nya mengandung pokok masalah yang sama.
b.    Meneliti kualitas para perawi yang terdapat pada semua jalur sanad
c.    Apabila semua perawi adalah tsiqah dan ternyata ada seorang perawi yang menyalahi yang lain, maka dapat dikatakan bahwa sanad yang menyalahi itu adalah sanad syȃdz dan yang lainnya disebut mahfȗzh (terpelihara).[19]
5.    Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat.
Pengertian ‘illat menurut istilah ilmu hadis, adalah suatu cacat tersembunyi yang dapat merusak kualitas hadits yang tampak secara lahir berkualitas shahih. Cacat tersembunyi itu dapat berupa ketidak bersambungan sanad yang sulit dilacak secara biasa dan juga bisa berupa kelemahan perawi yang juga sulit dinilai secara biasa.[20]  
C.       Praktek Mengetahui Kualitas Sanad Hadits
Riwayat hadits yang mukharrij-nya Imam Muslim:
حَدَثَناَ أَبُو بَكْرٍ بْنُ اَبِى شَيْبَةَ ,حَدَثَنَا وَكِيْعٌ عَنْ سُفْيَانَ. وَحَدَثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ المُثَنَّى. حَدَثَنَا مُحَمَّدَ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَثَنَا شُعْبَةُ ,كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهذَا حَدِيْثُ أَبِى بَكْرِ. فَقَالَ: أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيْدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ. فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ. فَقَالَ: اَلصَّلَاةُ قَبْلَ الخُطْبَةِ. فَقَالَ: قَدْ تُرِكَ مَاهُنَالِكَ. فَقَالَ أَبُو سَعِيْدٍ: أَمَّا هذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ. سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ: مَنْ رَاى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ (أخرجه مسلم ([21]

Contohnya hadits yang berbunyi مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرَا  atau yang semakna dengan itu. Dalam melakukan penelitian hadis ini, yang harus dilakukan lebih dahulu adalah melacaknya dari berbagai macam kitab koleksi para kolektor hadis, diantaranya adalah pada kitab-kitab sebagai berikut:
1.    Muslim dalam Shahih Muslim, Juz 1 halaman 69.
2.    Abu Daud dalam Sunan Abi Daud, Juz I, halaman 297, dan Juz IV, halaman 123.
3.    At-Turmuzi dalam Sunan al-Turmudzi, Juz III, halaman 317-318.
4.    An-Nasa’I dalam Sunan Al-Nasa’i, Juz VIII, halaman 111-112.
5.    Ibnu Majah dalam Sunan Ibnu Majah, Juz I, halaman 406 dan Juz II, halaman 1330.
6.    Ahmad bin Hambal dalam Musnad Ahmad, Juz III, halaman10, 20, 49, 52-53 dan 92.[22]
Berikut ini urutan periwayatan dan sanad untuk hadits di atas:
Nama Periwayat
Urutan sebagai Periwayat
Urutan sebagai Sanad
1.      Abu Sa’id
2.      Tariq bin Syihab
3.      Qais bin Muslim
4.      Sufyan
5.      Syu’bah
6.      Waqi’
7.      Muhammad bin Ja’far
8.      Abu Bakr bin Abi Syaibah
9.      Muhamamad bin al-Musanna
10.  Muslim
Periwayat I
Periwayat II
Periwayat III
Periwayat IV
Periwayat IV
Periwayat V
Periwayat V
Periwayat VI
Periwayat VI
Periwayat VII
Sanad VI
Sanad V
Sanad IV
Sanad III
Sanad III
Sanad II
Sanad II
Sanad I
Sanad I
(Mukharrijul hadits)

Selain kedua sanad, masih ada sebuah sanad Muslim melalui Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la; bunyi matan-nya hanya dinyatakan sebagai “sama dengan hadits yang ber-sanad Syu’bah dan Sufyan di atas”. Dari uraian di atas maka dapatlah dikemukakan skema sanad hadits riwayat Muslim tentang mengatasi kemungkaran sebagai berikut:[23]
















 





















حدثنا
 
 


مسلم

 
 


Untuk meneliti periwayat hadits, penelitian dapat dimulai pada periwayat pertama ataupun periwayat terakhir (Mukharrij). Pada penelitiaan kali ini penelitian akan di mulai pada periwayat pertama, yakni Abu Sa’id Al Khudry yang kemudian dilanjutkan pada periwayat periwayat selanjutnya sampai pada periwayat terakhir (Mukharrij), yakni Imam Muslim.
إتصال السند
قول النقاد
روى عنه
روى عن
توفى
كنية ولقب
نسب
اسم
رمز
متصل
قال إسحاق بن منصور عن يحيي بن معين, وأبو زرعة, وأبو حاتم : ثقة[24]
ضمرة بن سعيد المازني, وطارق بن شهاب, وعاصم بن شميخ الغيلاني
النبي صلى الله عليه وسلم, و عن عسيد بن حضير, وجابر بن عبد الله
٧٤
أبو سعيد الخدري
سعد بن مالك بن سنان بن عبيد الأبحر, وهو خدرة بن عوف بن الحارث بن الخزرج الأنصري, أبو سعيد الخدري, صاحب رسول الله
أبو سعيد الخذرى
١
متصل
العجلى : وهو ثقة
اسما عيل بن ا بى خالد,وقيس بن مسلم, ومخا رق الا حمس, وعلقمة بن مر ثد, وسماك بن حرب ,و جماعة  [25]                 
عن الخلفاء الاربعة, وبلال, وحذيفة, وخالد بن الوليد, وسعدو وابن مسعود ,أبي سعيد, كعب بن عجرة, وغيرهم
٨٢
٨٣
٨٤
ابو عبد الله الكو فى
بن عبد شمس بن هلا ل بن سلمة بن عو ف بن جشم البجلى الا حمسى
طارق بن
 شها ب
٢
متصل
على عن يحيى : كان مرجئا, وهو أثبت من أبى قيس
أبو داود : كان مرجئا
النساء : الثقة[26]
الأ عمش, وشعبة, والثورى, ومسعر, و مالك بن مغول
طارق بن شهاب, والحسن ابن محمد بن الحنفية, ومجاهد, وعبدالرحمن بن أبى ليلى, وسعيد بن زبير.
١٢٠
ابو عمرو الكوفى
بن مسلم الجد لى العدوانى
قيس بن مسلم
٣
متصل
ابن سعد : كا ن ثقة  مأمونا
العجلى : ثقة[27]     
أيوب, والأعمش, وسعد بن ابراهيم, ومحمد بن جعفر
ابراهيم بن عا مر بن مسعود, و ابرهيم بن محمد المنتشر, واسماعيل بن ابي جالد, و قيس بن مسلم
١٦٠
أبو بسطا م
 الو اسطى
بن الحجاج بن الورد العتكى الأزدى
شعبة
٤
متصل
ابن المد ينى : هو أحب إلى من عبد الر حمن فى شعبة
ابن مهدى : كنا نستفيد من كتب غند ر فى حيا ة شعبة, وكا ن وكيع يسميه الصحيح الكتاب[28]
احمد بن حنبل, واسحاق بن راهويه, ويحيى بن معين, وعلى بن المدينى, وأبوموسى
شعبة, وعبدالله بن سعيد ابن أبى هند, وعوف الأعرابى, ومعمر بن راشد
٢٣٦
٢٣١
ابو عبدالله
البصرى المعروف
 بغندر, صاحب الكرابيس
بن جعفر الهذ لي
محمد بن جعفر
٥
متصل
عبدالله بن أحمد عن ابن معين : ثقة
أبوحاتم : صالح بن محمد الحديث, صدوق اللهجة[29]
أبو زُرْعة, وأبو حاتم, ومحمد بن إسحاق بن خزيمة, مسلم
عبدالله بن إدريس, وأبى معاوية, ومحمد بن عبدالله الانصارى
٢٥٢
٢٥١
٢٥٠
أبو مو سى البصرى
بن عبيد بن قيس بن دينار العنزى
محمد بن المثنى
٦
متصل
على بن المدينى : ما فى أصحا ب الز هر ى أتقن من ابن عيينة
وقا ل العجلى : ثقة[30]
الأعمش, وابن جر يج, وشعبة, ووكيع
قيس بن مسلم و الاسود بن قيس, وحميد بن قيس الاعرج, عبد الملك بن عمير, وايوب ابن موسى
١٩٨
١٩٧
ميمون الهلا لى, أبو محمد الكو فى
بن عيينة بن أبى عمران
سفيان
٧
متصل
ابن سعد : ثقة
العجلى : ثقة, صا لح[31]
عبد الرحمن بن مهدى, وأحمد, ويحيى, وإبن أبى شيبة, وأبو خَيْثَمة
إسماعيل بن أبى خالد, والاعمش و سفيان الثورى, وشعبة, والحميد بن جعفر

٢٠٤
٢٠٣
أبو سفيا ن الكو فى الحا فظ
بن الجراح بن مليح الر ؤاسى
وكيع
٨
متصل
العجلى : ثقة, وكان حافظا للحد يث
أبو حاتم وابنخراش : ثقة[32]
ومسلم, وأبو داود, وابن ماجه, وزكريا السا جى
أبى الأ حوص, وعبد الله بن ادريس, وابن المبارك, ووكيع
٢٣٥
عبدالله بن محمد بن أبى شيبة
ابراهيم بن عثما ن بن خوا ستى العبسى
أبو بكر بن أبي شيبة
٩

Dari kegiatan diatas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa sanad hadits tersebut tidak berkualitas sebagai sanad yang mutawattir tetapi berstatus ahad. Karena jumlah dari sanad hadits  tersebut  tidak memenuhi hadits mutawattir. Mengenai keseluruhan sanadnya hadits tersebut semua periwayat berstatus atau bersifat tsiqah (adil dan dhabit), sanadnya pun juga bersambung (muttashil), terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan terhindar dari illat (cacat).
Dengan demikian hadits tersebut berkualitas shahih li dzatih, karena sanad tersebut menuhi lima syarat dari hadits shahih yaitu:
1.    Sanad hadits itu harus bersambung (Ittishal al sanad)
Maksudnya sanad hadits tersebut sejak daru mukhorrijnya sampai kepada nabi tidak ada yang terputus, hal ini dapat di lihat dalam table ketersambungan sanad.
2.    Para perowi yang meriwayatkan hadist itu haruslah orang yang bersifat adil (terpercaya). Arti adil di sini ialah bersifat-sifat:
a.       Istiqomah dalam agamanya yaitu Islam.
b.      Akhlaknya baik
c.       Tidak fasiq (tidak banyak melakukan dosa kecil apalagi dosa besar),
d.      Memelihara muru’ah (memelihara kehormatanya).
3.    Para perowi yang meriwayatkan hadits itu, haruslah bersifat dhabit.
Arti dhabith adalah memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna. Gabungan dari sifat adil dan dhabit, biasanya di sebut dengan istilah tsiqah. Jadi, orang yang tsiqah pasti adil dan dhabit, tetapi orang yang adil saja atau dhabit saja belumlah termasuk orang yang tsiqah.
4.    Apa yang berkenan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada kejanggalan-kejanggalan (Syudzuz). Yang di maksud syudzud adalah apa yang sebenarnya berlawanan dengan keadaan yang terkandung dalam sifat tsiqah, atau bertentangan dengan haditst yang lebih kuat.
5.    Apa yang berkenan dengan periwayatan hadits itu, tidak ada sama sekali cacatnya.[33]

Dari pembahasan tentang “Kaedah Kesahihan Sanad Hadits” dapat disimpulkan bahwa kaedah kesahihan sanad hadits, yakni berisi segala syarat, kriteria, atau unsur yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas sahih. Unsur-unsur kaedah kesahihan sanad hadits yaitu: kaedah mayor (berasal dari orang yang tsiqoh; diperhatikan ibadah sholatnya, prilaku dan keadaan dirinya; tidak boleh apabila tidak dikenal memiliki pengetahuan hadis; tidak boleh suka berdusta, dan tidak mengerti hadis yang diriwayatkannya; dan tidak boleh dari orang yang ditolak kesaksiannya) dan kaedah minor (Sanad-nya bersambung; Seluruh periwayat dalam sanad hadits bersifat ‘adil; Seluruh periwayat dalam sanad bersifat dhabith; Sanad hadis itu terhindar daru syudzȗdz dan Sanad hadis itu terhindar dari ‘illat).
Dari praktek mengetahui kualitas sanad hadits yang diriwayatkan imam muslim di simpulkan bahwa sanad hadits tersebut tidak berkualitas sebagai sanad yang mutawattir tetapi berstatus ahad. Keseluruhan sanadnya, hadits tersebut semua periwayat berstatus atau bersifat tsiqah, sanadnya pun juga bersambung, terhindar dari kejanggalan (syudzudz) dan terhindar dari illat (cacat). Dengan demikian hadits tersebut berkualitas shahih li dzatih.


[1]Musthafa Al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 56.
[2]Sohari Sahrani,Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 129-130.
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.45.
[4]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002), hlm. 147.
[5]Siti Mujibatun, Joseph Schacht dan Teori Projecting Back (Kritik atas Kritik Sistem Isnad Dalam Periwayatan Hadis), (Semarang: RaSAIL, 2014), hlm. 18.
[6]Sohari Sahrani, Ulumul..., hlm. 1-2.
[7]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjaun dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm.9-10.
[8]M. Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan al-Sunnah, (Jakarta:Kencana, 2003), hlm. 174.
[9]Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 97.
[10]Syuhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani, 1995), hlm. 76.
[11]Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 74.
[12]Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan, hlm. 124.
[13]Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan…, hlm. 120.
[14]Muhibbin Noor, Kritik Kesahihan Hadis Imam al-Bukhari, (Jogjakarta: Waqtu, 2003), hlm. 92-93.
[15]Abdurrahman, Metode Kritik Hadis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hlm.14.
[16]Muhibbin Noor, Kritik Kesahihan…, hlm. 93-95.
[17] Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan..., hlm. 135-137.
[18] Muhibbin Noor, Kritik Kesahihan…, hlm. 96-97.
[19]Syuhudi Ismail, Kaidah kesahihan…, hlm. 144.
[20] Muhibbin Noor, Kritik Kesahihan…, 96.
[21]Thob’i Ali Nufqhah, Shahih Muslim Juz I, (Bandung: Syirkah Al-Ma’arif Li Thab’I Wan Nasyr, tt), hlm. 69.
[22]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian…, hlm. 54.
[23]M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian…, hlm. 56-63.
[24] Abu Al Mahassin Syam Al Din Muhammad bin Ali Hussain A Mizzi, Tahdzib al Kamal fi Asma’ al Rijal Jilid 7, (Beirut: Daar Al Fikr, 1994), hlm. 103-104
[25]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm. 4-5.
[26]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm. 374-375.
[27]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 4, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm. 308-314.
[28]Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 5, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm. 519-521.
[29] Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 6, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 1994), hlm. 30-31.
[30] Abu Al Mahassin Syam Al Din Muhammad bin Ali Hussain A Mizzi, Tahdzib…, hlm. 353-364.
[31] Ahmad bin Ali bin Hajjar Al Asqalani, Tahdzib Al Tahdzib Jilid 6, (Beirut : Daar Al Kutub Al ‘Ilmiyah, 2004), hlm 519-521.
[32] Abu Al Mahassin Syam Al Din Muhammad, Tahdzib…, hlm. 482-487.
[33]M. Syuhudi Isma’il, Pengantar Ilmu Hadits, (Bandung : Angkasa, 1991), hlm. 179-180.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar