Tafsir merupakan sebuah
penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran yang maksud
dari maknanya masih belum jelas dan membutuhkan penjabaran agar maknanya mudah difahami.
Sehingga dalam penafsiran ini tidak menjelaskan apa yang tersurat tetapi
menjelaskan juga apa yang tersirat. Dengan begitu akan dimengerti apa maksud
dari Ayat Al-Qur’an. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu tafsirpun ikut
berkembang dan kitab-kitab tafsir bertambah banyak dengan berbagai macam metode
dan pendekatan tafsir hingga zaman modern ini. Berdasarkan banyaknya kitab
tafsir tersebut, apabila dipilah-pilah menurut metodologi penafsirannya, terbagi
menjadi empat macam metode penafsiran yang sudah di anggap baku, selain itu
juga terdapat beberapa pendekatan tafsir modern yang bersifat kekinian. Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih
jauh mengenai metode dan
pendekatan apa saja yang dapat di gunakan dalam lingkup tafsir. Maka dalam makalah ini akan sedikit
membahasnya, yang akan disajikan dan dipaparkan serta dikaitkan dengan studi qur’an.
A. Definisi Metode dan Pendekatan Tafsir
Metode dan pendekatan merupakan dua istilah yang memiliki makna sejenis namun dengan
konotasi berbeda.
Metode juga berasal dari bahasa Yunani methodos,
yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung
arti, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam
ilmu pengetahuan dan sebagainya).[1] Metode merupakan istilah yang
digunakan untuk mengungkapkan “cara yang paling tepat dan cepat untuk melakukan
sesuatu”. Karena itulah metode merupakan suatu hasil experimen.[2]
Sedangkan pendekatan (approach) secara
umum menurut Ujang Sukandi adalah cara yang umum dalam memandang permasalahan
atau objek kajian, laksana pakai kaca mata merah maka semua akan tampak
kemerah-merahan. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya
proses yang sifatnya masih sangat umum.[3]
Pendekatan selalu terkait
dengan tujuan, metode dan teknik. Karena teknik yang
bersifat implementasional tidak
terlepas dari metode yang digunakan. Sementara metode sebagai rencana yang menyeluruh tentang
penyajian materi selalu didasarkan dengan pendekatan, dan pendekatan merujuk
kepada tujuan yang telah diterapkan sebelumnya.[4]
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang
berarti keterangan atau uraian. Pengertian tafsir berdasarkan istilah menurut Az-Zarkasyyi :
علم يفهم به كتاب الّله المنزّل على نبيّه محمّد ص.م.
وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه .
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan
untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan
hikmahnya.”[5]
Dalam pengertian praktis, kata
tafsir dipergunakan untuk penjelasan, penafsiran, atau komentar terhadap
al-Qur’an, yang mencangkup seluruh cara untuk memperoleh pengetahuan yang akan
membantu ke arah pemahaman yang wajar tentangnya, yaitu dengan cara menjelaskan
makna yang dikandungnya atau memperjelas implikasi legalnya.[6] Oleh sebab itu
metodologi dan pendekatan tafsir merupakan cara serta langkah-langkah yang di
tempuh dalam memahami dan menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
B. Macam-macam Metodologi Tafsir
Pengklasifikasian metodologi tafsir
merujuk pada pembagian yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Hayy al-Farmawiy, yang
mengutip pendapat Sayyid Qummiy, dan dikutip juga oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi.
Keempat metode tafsir yang telah dianggap baku tersebut antara lain:[7]
1. Metode Tahlily (Analisis)
Secara etimologis, tahlily berasal dari bahasa Arab dari kata hallala-yuhallilu-tahlil,[8] yang artinya
menguraikan atau penguraian. Metode Tahlily menurut etimologi, yakni jalan atau
cara untuk menerangkan arti ayat-ayat dan surat dalam mushaf, dengan memaparkan
segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta
menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan
kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[9]
Metode penafsiran ini, muncul sejak akhir abad II atau awal abad III H, yakni
periode pembukuan tafsir sebagai suatu istilah yang berdiri sendiri.[10] Metode tafsir tahlily merupakan metode yang paling tua, embrionya sudah
ada sejak masa sahabat Nabi Saw. Pada awalnya para sahabat hanya menafsirkan
beberapa ayat saja dari al-Qur’an, kemudian pada masa berikutnya, merasa
perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi.[11]
Dalam metode ini,
penafsir menggunakan makna yang terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf.[12]
Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan
seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimat, latar belakang turunnya ayat,
munasabah dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah) dan
pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat-ayat
tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli
tafsir lainnya[13].
Dengan demikian,
ciri-ciri metode tahlily sebagai berikut:[14]
a.
Penafsir al-Qur’an
berdasarkan ayat perayat sesuai urutan mushaf.
b.
Penjelasan ayat-ayat
al-Qur’an sangat rinci meliputi segala aspek yang berkaitan dengan penjelasan
makna ayat, baik dari segi bahasa, munasabah ayat dan lain sebagainya.
c.
Luas penafsiran
tergantung dari luas ilmu yang dimiliki mufassir.
d.
Sumber pengambilan
boleh jadi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, sumber-sumber fiqih
dan lain sebagainya.[15]
Kelebihan dan kelemahan metode tahlily:
a.
Kelebihan metode tahlily antara lain:
1)
Dapat dengan mudah
untuk mengetahui tafsir suatu ayat atau suatu surat dengan lengkap, karena
penafsiran al-Qur’an dijelaskan sesuai dengan susunan ayat atau seperti
berdasarkan urutan yang terdapat dalam mushaf.
2)
Dapat dijadikan acuan
dalam rangka menghimpun ayat yang dikaji dengan metode maudhu’i.
3)
Mudah untuk mengetahui
relevansi dan korelasi antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang
lain.
4)
Memungkinkan untuk
memberikan penafsiran pada semua ayat walaupun inti penafsiran ayat yang satu
merupakan pengulangan dari ayat yang lain. Bilamana ayat-ayat yang ditafsirkan
tersebut sama atau hampir sama.
1)
Terkesan adanya
penafsiran secara berulang-ulang. Terutama terhadap ayat-ayat yang menghimpun
topik sama.[18]
2)
Tidak mencerminkan
penafsiran secara utuh atau bulat terhadap suatu masalah. Sebab ayat yang
mempunyai topik yang sama letaknya terpencar dalam beberapa surat.
3)
Uraian terkesan panjang
lebar, bahkan terlalu jauh dari maksud tafsir itu sendiri sehingga timbul rasa
bosan dalam mempelajarinya dan mengkajinya.
Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tahlily coraknya dapat berupa:
a. al tafsir bi al ma’tsur : cara
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash, baik al-qur’an,
sunnah Nabi Saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal)
tabi’in.[19]
b. al tafsir bi al ra’y :
penafsiran dengan ijtihad dan penalaran.
c. al tafsir al-shufi :
penafsiran yang lebih menitik beratkan kajiannya pada makna batin dan bersifat
alegoris.
d. al tafsir al-fiqhi : corak
tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.
e. al tafsir al falsafi :
penafsiran ayat al-Qur’an berdarkan pendekatan filosofis baik yang berusaha
untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori filsafat dengan ayat
maupun menolak teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’an.[20]
g. al tafsir al adabi al ijtima’i
: corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial
kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih
banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan
yang sedang berlangsung.[22]
2. Metode Ijmaly (Global)
Metode ijmaly adalah metode tafsir yang menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini
penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat
menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain air yang
dikehendaki. Ciri-ciri metode ijmaly, yaitu:
a. Penafsir membahas secara
runtut berdasarkan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud
oleh ayat tersebut.
b. Penafsir dalam penyampaiannya
menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idium yang
mirip, bahkan sama dengan bahasa al-Qur’an.[23]
Adapun sistematika
dalam penulisan tafsir dengan metode ini
mengikuti susunan ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti,
mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan
hadis-hadis yang terkait.[24]
Kelebihan dan Kelemahan Metode
Ijmaly antara lain:
a.
Kelebihan metode Ijmaly,
yaitu: dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan
kaum muslimin secara merata.
b.
Kelemahan metode Ijmaly, yaitu: uraiannya yang terlalu singkat dan ringkas,
sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat secara luas dan tidak dapat
menyelesaikan masalah dengan tuntas.[25]
3. Metode Muqarin (Pembandingan)
Metode muqarin menekankan kajiannya pada aspek
perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Penafsiran yang menggunakan metode
ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian
mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsiran mengenai ayat-ayat
tersebut dalam karya mereka.[26]
Ciri-ciri metode Ijmaly, antara lain:
a. Membandingkan teks ayat-ayat
al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam 1
kasus yang sama atau di duga sama.
b. Membandingan ayat-ayat
al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terlihat bertentangan.
c. Membandingkan berbagai
pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.[27]
Langkah-langkah
metode ini, antara lain:
a. Seorang mufassir mengambil sejumlah
ayat-ayat al-Qur’an
b. Mengemukakan penafsiran para ulama
tafsir terhadap ayat tertentu.
c. Mengungkapkan pendapat mereka serta
membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam
menafsirkan al-Qur’an, kemudian menjelaskan siapa di antara mereka yang
penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan mazhab, siapa diantara mereka yang
penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu.
d. Memberikan komentar berdasarkan apa
yang ditulisnya, apakah termasuk tafsir makbul ataukah tafsir yang tidak
makbul.[28]
Hidangan dalam metode ini adalah:
a. Ayat-ayat al-qur’an yang
berbeda redaksinya.
b. Ayat yang berbeda kandungan
informasinya dengan hadits Nabi.
Kelebihan dan kelemahan metode
muqarin:
a.
Kelebihan metode muqarin
antara lain:
1)
Memberikan wawasan yang luas.
2)
Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
3)
Dapat mengetahui berbagai penafsiran.
4)
Membuat mufasir lebih berhati-hati.
b.
Kelemahan metode muqarin
antara lain:
1)
Tidak cocok untuk pemula.
2)
Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer.
3)
Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.[30]
4. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode maudhu’i yaitu metode penafsiran yang
menjelaskan suatu tema dari sedemikian banyak tema kehidupan doktrinal,
kemasyarakatan atau universal dari sudut pandang al-Qur’an guna mengeluarkan
teori-teori al-Qur’an dengan segala tujuan dan maksudnya.[31] Juga dapat diartikan bahwa metode maudhu’i ialah menafsirkan ayat
al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat dan surah yang terdapat dalam
mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufasir dengan
menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabnnya dalam al-Qur’an. Kemudian Mufassir
mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Adapun langkah-langkah
yang ditempuh, antara lain:
a.
Menetapkan masalah yang
akan dibahas (topik).
b.
Menghimpun seluruh
ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji, baik surah
makiyyah maupun madaniyah.
c.
Menentukan urutan ayat yang
dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbab
al-nuzulnya.
d.
Menjelaskan musabah
atau kolerasi antara ayat itu pada masing-masing surahnya dan kaitannya ayat
itu dengan ayat sesudahnya.
e.
Membuat sistematika kajian
yang sistematis dan lengkap dengan out line-nya yang mencakup semua segi dari
tema kajian.
f.
Mengemukakan hadits-hadits
Rasulullah Saw, yang berbicara tentang tema kajian.
g.
Mempelajari ayat-ayat
tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai
pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am dan yang khash,
yang muthlaq dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan,
sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
h.
Menyusun
kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah
yang dibahas.[32]
Kelebihan metode ini adalah merupakan cara
terpendek dan termudah menggali hidayah al-Qur’an dibandingkan metode tafsir
lainnya; menafsirkan ayat dengan ayat sebagai cara terbaik dalam tafsir
ternyata diutamakan oleh metode maudhu’i; dapat menjawab persoalan hidup manusia
secara praktis dan konsepsional berdasarkan petunjuk al-Qur’an; dengan
menghimpun berbagai ayat dalam masalah tertentu dapat dihayati ketinggian
fashahahnya dan balaghah; serta dengan studi maudhu’i ayat yang kelihatan
bertentangan dapat dipertemukan dan didamaikan dalam suatu kesatuan yang
harmonis. Sedangkan kelemahan metode ini adalah memenggal
ayat Al Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.
C. Pendekatan Tafsir Modern
Al-Qur’an merupakan
mukjizat Rasulullah Saw., yang masih memiliki substansi sketsa historis (dari
ratusan, bahkan berabad-abad tahun lamanya yang masih tersimpan rapi di
dalamnya tanpa seditpun ada perubahan), kekuatan simbol-simbol bahasa Tuhan,
kaidah-kaidah bahasa al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum al-Qur’an, dan lain
sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan karakteristik tersendiri bagi
al-Qur’an dibanding dengan kitab-kitab suci samawi yang lain. Sehingga,
sangat beralasan, jika dalam memahami al-Qur’an sangat memerlukan berbagai
metode dan pendekatan agar mendapatkan interpretasi makna al-Qur’an secara
tepat dan akurat.
Beberapa metode
penafsiran terhadap al-Qur’an sudah disampaikan pada pembahasan sebelumnya.
Maka pada sub bahasan tersebut, akan dipaparkan mengenai berbagai pendekatan
modern dalam menafsiri al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:
1.
Pendekatan secara Tekstual
Pendekatan
yang dihadapkan dengan pemahaman teks-teks al-Qur’an. Sehingga pendekatan
tersebut lebih diaplikasikan untuk mengeksplorasi makna-mkana yang terkandung
pada sebuah kata hingga akhirnya mendapatkan sebuah kesimpulan dari kata-kata
tersebut yang tersusun dalam suatu ayat tertentu.[33]
2.
Pendekatan Linguistik (Kajian
Sastra Bahasa)
Suatu
pendekatan memahami al-Qur’an dengan mempergunakan kaidah-kiadah bahasa. Dalam
bahasa arab, pendekatan tersebut lebih dikenal dengan sebutan ilmu ma’ani,
ilmu badi’, dan ilmu bayan. Saat ini, pendekatan linguistik sudah
merambah ke pengetahuan modern seperti ilmu hermeneutik, semantik, dan
semiotik.[34]
Pendekatan-pendekatan modern tersebut, saat ini, sudah banyak dipergunakan oleh
para akademisi dan penikmat-penikmat tafsir modern dalam meneliti setiap
masalah sosial yang korelasinya dengan al-Qur’an. Tokoh-tokoh modern yang
menggunakan pendekatan linguistik dalam menafsiri al-Qur’an antara lain: Amin
al-Khuli, yang memahami al-Qur’an dengan pendekatan sastra bahasa yang
didasarkan atas metodologi yang tepat, fasilitas aspek dan sinkronisasi
pemahaman makna al-Qur’an.[35] Begitu
juga, Muhammad Arkoun dengan pendekatan linguistik-semiotik[36] dan
kemudian Muhammad Syahrur yang memahami al-Qur;an dengan menggunakan pendekatan
linguistik strukturalis[37], dan
lain sebagainya.
3.
Pendekatan Sistematis
Al-Qur’an
merupakan kitab suci yang substansinya memiliki relasi yang kuat antara ayat
satu dengan ayat yang lain secara sistematis dan komprehensif. Ada beberapa
indikasi bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki relasi yang kuat antara ayat satu
dengan ayat yang lain, yaitu: al-Tanzir, yaitu menentukan relasi ayat
tertentu dengan menganalisis kesamaan arti dari dua atau beberapa ayat. Al-Mudhadat,
yakni memahami sebab relasi dari ayat-ayat yangsaling berlawanan. Al-Istihradh,
ialah hubungan berakibat antar ayat-ayat yang saling bertalian.[38]
4.
Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan
tersebut lebih meneropong aspek kehidupan sosio kultural masyarakat Arab disaat
ayat itu diturunkan. Karena kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa di masa
lampau yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan kunci atau sebab-sebab suatu
ayat tertentu diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Saw.[39]
5.
Pendekatan Kultural
Dalam
memahami al-Qur’an diantaranya dengan menggunakan konsep interpretasi kultural,
yaitu konsep sekumpulan pengetahuan yang dipergunakannya oleh penikmat tafsir
dalam menginterpretasi pengalaman hingga akhirnya menghasilkan
tindakan-tindakan sosial.[40]
6.
Pendekatan Rasional
Kadangkala
memahami al-Qur’an atas dasar prinsip-prinsip logika adalah suatu keharusan.
Prinsip-prinsip logika menafsiri dan memahami al-Qur’an merupakan kegiatan
ilmiah yang memerlukan penalaran ilmiah yang sudah disinyalir oleh al-Qur’an
secara eksplisit.[41]
Sehingga manusia wajib bertumpu dan mengacu kepada al-Qur’an sebagai GBHT (Garis-garis
Besar Haluan Tuhan) yang harus ada dalam kehidupan manusia setiap harinya
secara kontinuitas dan aplikatif. Ada beberapa golongan tafsir dengan
pendekatan rasional seperti halnya Tafsir Buya Hamka “al-Azhar”, Tafsir Ahmad
Hasan “Tafsri al-Furqan”, Tafsir Muhammad Rasyid Ridha “Tafsir al-Manar”, dan
lain sebaginya.[42]
7.
Pendekatan Saintifik
Merupakan
suatu pendekatan dalam memahami dan mengungkapkan makna ayat-ayat al-Qur’an
dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah sehingga menelorkan berbagai ilmu
pengetahuan yang beraneka ragam.[43]
Sedangkan menurut M. Husain al-Zahabiy, bahwa pendekatan saintifik adalah suatu
pendekatan dalam menafsiri dan memahami al-Qur’an dengan mengukuhkan
istilah-istilah yang terkandung di dalam perumpamaan-perumpamaan ayat al-Qur’an
hingga akhirnya melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan.[44]
D. Contoh Metodologi dan Pendekatan Tafsir Modern
Dari beberapa
pembahasan diatas, disini kami berikan beberapa contoh, tentang menafsirkan al-Qur’an dengan
menggunakan metode Muqarin
(Perbandingan), yaitu
dalam
$tBur ã&s#yèy_ ª!$# wÎ) 3uô³ç0 öNä3s9 ¨ûÈõyJôÜtGÏ9ur Nä3ç/qè=è% ¾ÏmÎ/ 3 $tBur çóǨZ9$# wÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# ÍÍyèø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊËÏÈ
“Dan Allah
tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira
bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Ali Imran
[3]: 126)
$tBur ã&s#yèy_ ª!$# wÎ) 3tô±ç/ ¨ûÈõyJôÜtFÏ9ur ¾ÏmÎ/ öNä3ç/qè=è% 4 $tBur çóǨZ9$# wÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# 4 cÎ) ©!$# îÍtã íOÅ3ym ÇÊÉÈ
“Dan Allah
tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar
gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S.
al-Anfal [8]: 10)
Dalam ayat Ali Imran diatas kara bihi terletak sesudah qulubukum,
berbeda dengan ayat al-Anfal yang letaknya sebelum qulubukum. Dalam al-Anfal penutup ayat
dibarenge dengan Harf Taukid (Inna), sedang dalam Ali Imran huruf
tersebut tidak ditemukan. Mengapa demikian? Sedang kedua ayat tersebut
berbicara tentang turunnya malaikat untuk mendukung kaum Muslim.[45]
Selain
itu juga terdapat contoh penafsiran menggunakan pendekatan secara tekstual dalam
kata “dhulm” dalam ayat berikut:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan
iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S.
Al-An’am [6]: 138)[46]
Makna kata “dhulm” itu berarti menyekutukan
Allah, sesuai dengan relasi makna yang ada dalam surat Luqman sebagai berikut:
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu
ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".(Q.S. Luqman [31] : 13)[47]
Dari pembahasan tentang “Metodologi
dan Pendekatan Tafsir Modern” dapat disimpulkan bahwa metodologi dan pendekatan tafsir
merupakan sebuah cara serta langkah yang di tempuh dalam memahami dan
menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Terdapat empat metode dalam
memahami tafsir, antara lain: metode Tahlily (analisis), Ijmaly (global), Muqarin (pembandingan), dan Maudhu’i (tematik). Selain metode tersebut, terdapat pula beberapa
pendekatan tafsir modern, antara lain: pendekatan secara
Tekstual, Linguistik (Kajian Sastra Bahasa), Sistematis, Sosio-Historis,
Kultural, Rasional, dan Saintifik. Dari beberapa metode dan pendekatan tersebut
memeliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dalam penafsiran al-Qur’an.
[2]Ahmad Tafsir, Metodologi pengajaran Agama Islam, (Bandung :
PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 9.
[3]Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 6.
[4]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi
Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputra Press, 2002), hlm. 99.
[6]Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Qur’an,
(Jakarta: Rajawali Pers, 1988), hlm. 141.
[7]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, (Jogjakarta: Menara Kudus
Jogja, 2004), hlm. 74.
[9]Abd. al-Hay al-Farmawi. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, cet.
ke2, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat, 1977), hlm. 24.
[10]Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I,
(Kairo: Dar al-Kutub alHaditsah, 1961), hlm. 140-141.
[11]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 75.
[14]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir,
(Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007), hlm. 104.
[19]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 78.
[20]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 42-45.
[21]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras,
2005), hlm. 45.
[24]Yusuf Effensi, Metode dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an-Ma'akum Ma'ana.htm, dikutip senin, 30 Desember 2015
pukul 14.10 WIB.
[25] M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 119.
[28]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 120.
[29]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir,
(Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 382-382.
[30]Yusuf Effensi, Metode dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an-Ma'akum Ma'ana.htm, dikutip senin, 30 Desember 2015
pukul 14.19 WIB.
[31]Akhmad Arif
Junaidi, Pembaruan Metodologi
Tafsir al-Qur’an, (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm.30.
[32]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 123.
[33]Abd. Muin Salim, Metodologi..., hlm. 84-85.
[34]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 86.
[35]Abied Syah, Islam Garda Depan, (Bandung: Mizan, 2001), hlm.
140-141.
[36]Pendekatan linguistik-semiotik ialah suatu pendekatan yang memandang
bahwa suatu teks sebagai universalitas dan system dari relasi intern hingga
pembaca memahami suatu teks dengan tanpa interpretasi tertentu sebelumnya.
Lihat, Ghafur, Al-Qur’an dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkound,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 186.
[37]Pendekatan linguistik strukturalis adalah
menafsiri al-Qur’an dengan mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan sifat khas
yang dimiliki oleh bahasa itu Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 77.
[38]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 86-87.
[39]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 87-88.
[40]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 89-90.
[41]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 90-91.
[42]Syaiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Qur’an,
(Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 139-209.
[43]Muhammd Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 135.
[44]M. Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar
al-Kutb al-Haditsah, 1961), hlm. 474.
[45]M. Quraish Shihab, Kaidah..., hlm.
382-383.
[46]Team Pelaksana & Pentashih, Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemah
Bahasa Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2006), Juz. I, Q.S. al-An’am: 138,
hlm. 76.
[47]Team Pelaksana & Pentashih, Al-Qur’an..., hlm. .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar