Jumat, 29 Januari 2016

METODOLOGI TAFSIR DAN PENDEKATAN TAFSIR MODERN



Tafsir merupakan sebuah penjelasan tentang ayat-ayat Al-Quran yang maksud dari maknanya masih belum jelas dan membutuhkan penjabaran agar maknanya mudah difahami. Sehingga dalam penafsiran ini tidak menjelaskan apa yang tersurat tetapi menjelaskan juga apa yang tersirat. Dengan begitu akan dimengerti apa maksud dari Ayat Al-Qur’an. Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu tafsirpun ikut berkembang dan kitab-kitab tafsir bertambah banyak dengan berbagai macam metode dan pendekatan tafsir hingga zaman modern ini. Berdasarkan banyaknya kitab tafsir tersebut, apabila dipilah-pilah menurut metodologi penafsirannya, terbagi menjadi empat macam metode penafsiran yang sudah di anggap baku, selain itu juga terdapat beberapa pendekatan tafsir modern yang bersifat kekinian. Oleh sebab itu, untuk mengetahui lebih jauh mengenai metode dan pendekatan apa saja yang dapat di gunakan dalam lingkup tafsir. Maka dalam makalah ini akan sedikit membahasnya, yang akan disajikan dan dipaparkan serta dikaitkan dengan studi qur’an.
A. Definisi Metode dan Pendekatan Tafsir
Metode dan pendekatan merupakan dua istilah yang memiliki makna sejenis namun dengan konotasi berbeda. Metode juga berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti, cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya).[1] Metode merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan “cara yang paling tepat dan cepat untuk melakukan sesuatu”. Karena itulah metode merupakan suatu hasil experimen.[2]
Sedangkan pendekatan (approach) secara umum menurut Ujang Sukandi adalah cara yang umum dalam memandang permasalahan atau objek kajian, laksana pakai kaca mata merah maka semua akan tampak kemerah-merahan. Istilah pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya proses yang sifatnya masih sangat umum.[3] Pendekatan selalu terkait dengan tujuan, metode dan teknik. Karena teknik yang bersifat implementasional tidak terlepas dari metode yang digunakan. Sementara metode sebagai rencana yang menyeluruh tentang penyajian materi selalu didasarkan dengan pendekatan, dan pendekatan merujuk kepada tujuan yang telah diterapkan sebelumnya.[4]
Kata “tafsir” diambil dari kata “fassara-yufassiru-tafsira” yang berarti keterangan atau uraian. Pengertian tafsir berdasarkan istilah menurut Az-Zarkasyyi :
علم يفهم به كتاب الّله المنزّل على نبيّه محمّد ص.م. وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه .
“Tafsir adalah ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW., serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.”[5]

Dalam pengertian praktis, kata tafsir dipergunakan untuk penjelasan, penafsiran, atau komentar terhadap al-Qur’an, yang mencangkup seluruh cara untuk memperoleh pengetahuan yang akan membantu ke arah pemahaman yang wajar tentangnya, yaitu dengan cara menjelaskan makna yang dikandungnya atau memperjelas implikasi legalnya.[6] Oleh sebab itu metodologi dan pendekatan tafsir merupakan cara serta langkah-langkah yang di tempuh dalam memahami dan menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
B.  Macam-macam Metodologi Tafsir
Pengklasifikasian metodologi tafsir merujuk pada pembagian yang dikemukakan oleh ‘Abd al-Hayy al-Farmawiy, yang mengutip pendapat Sayyid Qummiy, dan dikutip juga oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi. Keempat metode tafsir yang telah dianggap baku tersebut antara lain:[7]
1.    Metode Tahlily (Analisis)
Secara etimologis, tahlily berasal dari bahasa Arab dari kata hallala-yuhallilu-tahlil,[8] yang artinya menguraikan atau penguraian. Metode Tahlily menurut etimologi, yakni jalan atau cara untuk menerangkan arti ayat-ayat dan surat dalam mushaf, dengan memaparkan segala aspek yang terkandung didalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu, serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[9] Metode penafsiran ini, muncul sejak akhir abad II atau awal abad III H, yakni periode pembukuan tafsir sebagai suatu istilah yang berdiri sendiri.[10] Metode tafsir tahlily merupakan metode yang paling tua, embrionya sudah ada sejak masa sahabat Nabi Saw. Pada awalnya para sahabat hanya menafsirkan beberapa ayat saja dari al-Qur’an, kemudian pada masa berikutnya, merasa perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi.[11]
Dalam metode ini, penafsir menggunakan makna yang terkadang oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf.[12] Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosa kata, konotasi kalimat, latar belakang turunnya ayat, munasabah dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudahnya (munasabah) dan pendapat-pendapat yang telah diberikan berkenaan dengan tafsir ayat-ayat tersebut, baik yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya[13].
Dengan demikian, ciri-ciri metode tahlily sebagai berikut:[14]
a.    Penafsir al-Qur’an berdasarkan ayat perayat sesuai urutan mushaf.
b.    Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an sangat rinci meliputi segala aspek yang berkaitan dengan penjelasan makna ayat, baik dari segi bahasa, munasabah ayat dan lain sebagainya.
c.    Luas penafsiran tergantung dari luas ilmu yang dimiliki mufassir.
d.   Sumber pengambilan boleh jadi dari Tafsir bi al-Ma’tsur, Tafsir bi al-Ra’yi, sumber-sumber fiqih dan lain sebagainya.[15]
Kelebihan dan kelemahan metode tahlily:
a.    Kelebihan metode tahlily antara lain:
1)   Dapat dengan mudah untuk mengetahui tafsir suatu ayat atau suatu surat dengan lengkap, karena penafsiran al-Qur’an dijelaskan sesuai dengan susunan ayat atau seperti berdasarkan urutan yang terdapat dalam mushaf.
2)   Dapat dijadikan acuan dalam rangka menghimpun ayat yang dikaji dengan metode maudhu’i.
3)   Mudah untuk mengetahui relevansi dan korelasi antara satu ayat atau surat dengan ayat atau surat yang lain.
4)   Memungkinkan untuk memberikan penafsiran pada semua ayat walaupun inti penafsiran ayat yang satu merupakan pengulangan dari ayat yang lain. Bilamana ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut sama atau hampir sama. 
5)   Mengandung aspek pengetahuan, filsafat, dan lain-lain.[16]
b.    Kelemahan metode tahlily antara lain[17]:
1)   Terkesan adanya penafsiran secara berulang-ulang. Terutama terhadap ayat-ayat yang menghimpun topik sama.[18]
2)   Tidak mencerminkan penafsiran secara utuh atau bulat terhadap suatu masalah. Sebab ayat yang mempunyai topik yang sama letaknya terpencar dalam beberapa surat.
3)   Uraian terkesan panjang lebar, bahkan terlalu jauh dari maksud tafsir itu sendiri sehingga timbul rasa bosan dalam mempelajarinya dan mengkajinya.
Ditinjau dari segi kecenderungan para penafsir, metode tahlily coraknya dapat berupa:
a.    al tafsir bi al ma’tsur : cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash, baik al-qur’an, sunnah Nabi Saw, pendapat (aqwal) sahabat, ataupun perkataan (aqwal) tabi’in.[19]  
b.    al tafsir bi al ra’y : penafsiran dengan ijtihad dan penalaran.
c.    al tafsir al-shufi : penafsiran yang lebih menitik beratkan kajiannya pada makna batin dan bersifat alegoris.
d.   al tafsir al-fiqhi : corak tafsir yang pembahasannya berorientasikan pada persoalan-persoalan hukum Islam.
e.    al tafsir al falsafi : penafsiran ayat al-Qur’an berdarkan pendekatan filosofis baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori filsafat dengan ayat maupun menolak teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat al-Qur’an.[20]  
f.     al tafsir al ‘ilmi : berkaitan dengan ayat kauniyah pada al-Qur’an.[21]   
g.    al tafsir al adabi al ijtima’i : corak penafsiran al-Qur’an yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung.[22]   
2.    Metode Ijmaly (Global)
Metode ijmaly adalah metode tafsir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global. Dengan metode ini penafsir menjelaskan arti dan maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain air yang dikehendaki. Ciri-ciri metode ijmaly, yaitu:
a.    Penafsir membahas secara runtut berdasarkan mushaf, kemudian mengemukakan makna global yang dimaksud oleh ayat tersebut.
b.    Penafsir dalam penyampaiannya menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta memberikan idium yang mirip, bahkan sama dengan bahasa al-Qur’an.[23]
Adapun sistematika dalam penulisan tafsir dengan metode ini  mengikuti susunan ayat-ayat Al Qur’an. Selain itu mufasir juga meneliti, mengkaji dan menyajikan sebab nuzul ayat melalui penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait.[24]
Kelebihan dan Kelemahan Metode Ijmaly antara lain:
a.    Kelebihan metode Ijmaly, yaitu: dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata.
b.    Kelemahan metode Ijmaly, yaitu: uraiannya yang terlalu singkat dan ringkas, sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat secara luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.[25]
3.    Metode Muqarin (Pembandingan)
Metode muqarin menekankan kajiannya pada aspek perbandingan (komparasi) tafsir al-Qur’an. Penafsiran yang menggunakan metode ini pertama sekali menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an, kemudian mengkajinya dan meneliti penafsiran sejumlah penafsiran mengenai ayat-ayat tersebut dalam karya mereka.[26]   
Ciri-ciri metode Ijmaly, antara lain:
a.    Membandingkan teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi yang beragam, dalam 1 kasus yang sama atau di duga sama.
b.    Membandingan ayat-ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi saw yang terlihat bertentangan.
c.    Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.[27] 
Langkah-langkah metode ini, antara lain:
a.    Seorang mufassir mengambil sejumlah ayat-ayat al-Qur’an
b.    Mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat tertentu.
c.    Mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, kemudian menjelaskan siapa di antara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan mazhab, siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu.
d.   Memberikan komentar berdasarkan apa yang ditulisnya, apakah termasuk tafsir makbul ataukah tafsir yang tidak makbul.[28]
Hidangan dalam metode ini adalah:
a.    Ayat-ayat al-qur’an yang berbeda redaksinya.
b.    Ayat yang berbeda kandungan informasinya dengan hadits Nabi.
c.    Perbedaan pendapat ulama tentang penafsiran ayat yang sama.[29]
Kelebihan dan kelemahan metode muqarin:
a.    Kelebihan metode muqarin antara lain:
1)   Memberikan wawasan yang luas.
2)   Membuka diri untuk selalu bersikap toleran.
3)   Dapat mengetahui berbagai penafsiran.
4)   Membuat mufasir lebih berhati-hati.
b.    Kelemahan metode muqarin antara lain:
1)   Tidak cocok untuk pemula.
2)   Kurang tepat untuk memecahkan masalah kontemporer.
3)   Menimbulkan kesan pengulangan pendapat para mufasir.[30]
4.    Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode  maudhu’i yaitu metode penafsiran yang menjelaskan suatu tema dari sedemikian banyak tema kehidupan doktrinal, kemasyarakatan atau universal dari sudut pandang al-Qur’an guna mengeluarkan teori-teori al-Qur’an dengan segala tujuan dan maksudnya.[31] Juga dapat diartikan bahwa metode maudhu’i ialah menafsirkan ayat al-Qur’an tidak berdasarkan atas urutan ayat dan surah yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji. Mufasir dengan menggunakan metode ini, menentukan permasalahan yang akan dicari jawabnnya dalam al-Qur’an. Kemudian Mufassir mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah  tersebut yang tersebar dalam berbagai surah.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh, antara lain:
a.    Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).
b.    Menghimpun seluruh ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji, baik surah makiyyah maupun madaniyah.
c.    Menentukan urutan ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbab al-nuzulnya.
d.   Menjelaskan musabah atau kolerasi antara ayat itu pada masing-masing surahnya dan kaitannya ayat itu dengan ayat sesudahnya.
e.    Membuat sistematika kajian yang sistematis dan lengkap dengan out line-nya yang mencakup semua segi dari tema kajian.
f.     Mengemukakan hadits-hadits Rasulullah Saw, yang berbicara tentang tema kajian.
g.    Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am dan yang khash, yang muthlaq dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
h.    Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[32]
Kelebihan metode ini adalah merupakan cara terpendek dan termudah menggali hidayah al-Qur’an dibandingkan metode tafsir lainnya; menafsirkan ayat dengan ayat sebagai cara terbaik dalam tafsir ternyata diutamakan oleh metode maudhu’i; dapat menjawab persoalan hidup manusia secara praktis dan konsepsional berdasarkan petunjuk al-Qur’an; dengan menghimpun berbagai ayat dalam masalah tertentu dapat dihayati ketinggian fashahahnya dan balaghah; serta dengan studi maudhu’i ayat yang kelihatan bertentangan dapat dipertemukan dan didamaikan dalam suatu kesatuan yang harmonis. Sedangkan kelemahan metode ini adalah memenggal ayat Al Qur’an dan membatasi pemahaman ayat.
C. Pendekatan Tafsir Modern
Al-Qur’an merupakan mukjizat Rasulullah Saw., yang masih memiliki substansi sketsa historis (dari ratusan, bahkan berabad-abad tahun lamanya yang masih tersimpan rapi di dalamnya tanpa seditpun ada perubahan), kekuatan simbol-simbol bahasa Tuhan, kaidah-kaidah bahasa al-Qur’an, kaidah-kaidah hukum al-Qur’an, dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu merupakan karakteristik tersendiri bagi al-Qur’an dibanding dengan kitab-kitab suci samawi yang lain. Sehingga, sangat beralasan, jika dalam memahami al-Qur’an sangat memerlukan berbagai metode dan pendekatan agar mendapatkan interpretasi makna al-Qur’an secara tepat dan akurat.
Beberapa metode penafsiran terhadap al-Qur’an sudah disampaikan pada pembahasan sebelumnya. Maka pada sub bahasan tersebut, akan dipaparkan mengenai berbagai pendekatan modern dalam menafsiri al-Qur’an, antara lain sebagai berikut:
1.    Pendekatan secara Tekstual
Pendekatan yang dihadapkan dengan pemahaman teks-teks al-Qur’an. Sehingga pendekatan tersebut lebih diaplikasikan untuk mengeksplorasi makna-mkana yang terkandung pada sebuah kata hingga akhirnya mendapatkan sebuah kesimpulan dari kata-kata tersebut yang tersusun dalam suatu ayat tertentu.[33]
2.    Pendekatan Linguistik (Kajian Sastra Bahasa)
Suatu pendekatan memahami al-Qur’an dengan mempergunakan kaidah-kiadah bahasa. Dalam bahasa arab, pendekatan tersebut lebih dikenal dengan sebutan ilmu ma’ani, ilmu badi’, dan ilmu bayan. Saat ini, pendekatan linguistik sudah merambah ke pengetahuan modern seperti ilmu hermeneutik, semantik, dan semiotik.[34] Pendekatan-pendekatan modern tersebut, saat ini, sudah banyak dipergunakan oleh para akademisi dan penikmat-penikmat tafsir modern dalam meneliti setiap masalah sosial yang korelasinya dengan al-Qur’an. Tokoh-tokoh modern yang menggunakan pendekatan linguistik dalam menafsiri al-Qur’an antara lain: Amin al-Khuli, yang memahami al-Qur’an dengan pendekatan sastra bahasa yang didasarkan atas metodologi yang tepat, fasilitas aspek dan sinkronisasi pemahaman makna al-Qur’an.[35] Begitu juga, Muhammad Arkoun dengan pendekatan linguistik-semiotik[36] dan kemudian Muhammad Syahrur yang memahami al-Qur;an dengan menggunakan pendekatan linguistik strukturalis[37], dan lain sebagainya.
3.    Pendekatan Sistematis
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang substansinya memiliki relasi yang kuat antara ayat satu dengan ayat yang lain secara sistematis dan komprehensif. Ada beberapa indikasi bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki relasi yang kuat antara ayat satu dengan ayat yang lain, yaitu: al-Tanzir, yaitu menentukan relasi ayat tertentu dengan menganalisis kesamaan arti dari dua atau beberapa ayat. Al-Mudhadat, yakni memahami sebab relasi dari ayat-ayat yangsaling berlawanan. Al-Istihradh, ialah hubungan berakibat antar ayat-ayat yang saling bertalian.[38]
4.    Pendekatan Sosio-Historis
Pendekatan tersebut lebih meneropong aspek kehidupan sosio kultural masyarakat Arab disaat ayat itu diturunkan. Karena kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa di masa lampau yang terkandung dalam al-Qur’an merupakan kunci atau sebab-sebab suatu ayat tertentu diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Saw.[39]
5.    Pendekatan Kultural
Dalam memahami al-Qur’an diantaranya dengan menggunakan konsep interpretasi kultural, yaitu konsep sekumpulan pengetahuan yang dipergunakannya oleh penikmat tafsir dalam menginterpretasi pengalaman hingga akhirnya menghasilkan tindakan-tindakan sosial.[40]
6.    Pendekatan Rasional
Kadangkala memahami al-Qur’an atas dasar prinsip-prinsip logika adalah suatu keharusan. Prinsip-prinsip logika menafsiri dan memahami al-Qur’an merupakan kegiatan ilmiah yang memerlukan penalaran ilmiah yang sudah disinyalir oleh al-Qur’an secara eksplisit.[41] Sehingga manusia wajib bertumpu dan mengacu kepada al-Qur’an sebagai GBHT (Garis-garis Besar Haluan Tuhan) yang harus ada dalam kehidupan manusia setiap harinya secara kontinuitas dan aplikatif. Ada beberapa golongan tafsir dengan pendekatan rasional seperti halnya Tafsir Buya Hamka “al-Azhar”, Tafsir Ahmad Hasan “Tafsri al-Furqan”, Tafsir Muhammad Rasyid Ridha “Tafsir al-Manar”, dan lain sebaginya.[42]
7.    Pendekatan Saintifik
Merupakan suatu pendekatan dalam memahami dan mengungkapkan makna ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan istilah-istilah ilmiah sehingga menelorkan berbagai ilmu pengetahuan yang beraneka ragam.[43] Sedangkan menurut M. Husain al-Zahabiy, bahwa pendekatan saintifik adalah suatu pendekatan dalam menafsiri dan memahami al-Qur’an dengan mengukuhkan istilah-istilah yang terkandung di dalam perumpamaan-perumpamaan ayat al-Qur’an hingga akhirnya melahirkan berbagai macam ilmu pengetahuan.[44]
D. Contoh Metodologi dan Pendekatan Tafsir Modern
Dari beberapa pembahasan diatas, disini kami berikan beberapa contoh, tentang menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan metode Muqarin (Perbandingan), yaitu dalam
$tBur ã&s#yèy_ ª!$# žwÎ) 3uŽô³ç0 öNä3s9 ¨ûÈõyJôÜtGÏ9ur Nä3ç/qè=è% ¾ÏmÎ/ 3 $tBur çŽóǨZ9$# žwÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# ̓Íyèø9$# ÉOÅ3ptø:$# ÇÊËÏÈ  
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. Ali Imran [3]: 126)

$tBur ã&s#yèy_ ª!$# žwÎ) 3tô±ç/ ¨ûÈõyJôÜtFÏ9ur ¾ÏmÎ/ öNä3ç/qè=è% 4 $tBur çŽóǨZ9$# žwÎ) ô`ÏB ÏYÏã «!$# 4 žcÎ) ©!$# îƒÍtã íOŠÅ3ym ÇÊÉÈ  
“Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Q.S. al-Anfal [8]: 10)
Dalam ayat Ali Imran diatas kara bihi terletak sesudah qulubukum, berbeda dengan ayat al-Anfal yang letaknya sebelum qulubukum. Dalam al-Anfal penutup ayat dibarenge dengan Harf Taukid (Inna), sedang dalam Ali Imran huruf tersebut tidak ditemukan. Mengapa demikian? Sedang kedua ayat tersebut berbicara tentang turunnya malaikat untuk mendukung kaum Muslim.[45]
Selain itu juga terdapat contoh penafsiran menggunakan pendekatan secara tekstual dalam kata “dhulm” dalam ayat berikut:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ    
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.(Q.S. Al-An’am [6]: 138)[46]

Makna kata dhulm” itu berarti menyekutukan Allah, sesuai dengan relasi makna yang ada dalam  surat Luqman sebagai berikut:
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".(Q.S. Luqman [31] : 13)[47]
Dari pembahasan tentang “Metodologi dan Pendekatan Tafsir Modern” dapat disimpulkan bahwa metodologi dan pendekatan tafsir merupakan sebuah cara serta langkah yang di tempuh dalam memahami dan menjelaskan makna yang terkandung dalam al-Qur’an. Terdapat empat metode dalam memahami tafsir, antara lain: metode Tahlily (analisis), Ijmaly (global), Muqarin (pembandingan), dan Maudhu’i (tematik). Selain metode tersebut, terdapat pula beberapa pendekatan tafsir modern, antara lain: pendekatan secara Tekstual, Linguistik (Kajian Sastra Bahasa), Sistematis, Sosio-Historis, Kultural, Rasional, dan Saintifik. Dari beberapa metode dan pendekatan tersebut memeliki kelebihan dan kekurangan tersendiri dalam penafsiran al-Qur’an.


[1]Poerwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. ke 9, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 649.
[2]Ahmad Tafsir, Metodologi pengajaran Agama Islam, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 9.
[3]Hamruni, Strategi dan Model-Model Pembelajaran Aktif Menyenangkan, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009), hlm. 6.
[4]Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputra Press, 2002), hlm. 99.
[5]Rosihon Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 209-210.
[6]Ahmad Von Denffer, Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers, 1988), hlm. 141.
[7]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, (Jogjakarta: Menara Kudus Jogja, 2004), hlm. 74.
[8]Ahmad Warson Munawir, Kamus Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), hlm. 291.
[9]Abd. al-Hay al-Farmawi. al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, cet. ke2, (Mesir: Maktabat Jumhurriyat, 1977), hlm. 24.
[10]Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, (Kairo: Dar al-Kutub alHaditsah, 1961), hlm. 140-141.
[11]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 75.
[12]Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 39.
[13]Muhammad Husain al-Dzahabi. at-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 31-32.
[14]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, (Surabaya: Fak. Ushuluddin, 2007), hlm. 104.
[15]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, hlm. 32.
[16]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, hlm. 54.
[17]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, hlm. 55-62.
[18]Abd. Kholid, Kuliyah Sejarah Perkembangan Kitab Tafsir, hlm. 72.
[19]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 78.
[20]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 42-45.
[21]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 45.
[22]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi…, hlm. 45.
[23]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi..., hlm. 45-46.  
[24]Yusuf Effensi, Metode dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an-Ma'akum Ma'ana.htm, dikutip senin, 30 Desember 2015 pukul 14.10 WIB.
[25] M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 119.
[26]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, Metodologi...,  hlm. 45-46.  
[27]Nasrudin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar , 2002), hlm. 59.
[28]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 120.
[29]M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati, 2013), hlm. 382-382.
[30]Yusuf Effensi, Metode dan Pendekatan Tafsir al-Qur’an-Ma'akum Ma'ana.htm, dikutip senin, 30 Desember 2015 pukul 14.19 WIB.
[31]Akhmad Arif Junaidi,  Pembaruan Metodologi Tafsir  al-Qur’an,  (Semarang: Gunung Jati, 2001), hlm.30.
[32]M. Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy, hlm. 123.
[33]Abd. Muin Salim, Metodologi..., hlm. 84-85.
[34]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 86.
[35]Abied Syah, Islam Garda Depan, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 140-141.
[36]Pendekatan linguistik-semiotik ialah suatu pendekatan yang memandang bahwa suatu teks sebagai universalitas dan system dari relasi intern hingga pembaca memahami suatu teks dengan tanpa interpretasi tertentu sebelumnya. Lihat, Ghafur, Al-Qur’an dan Tafsirnya Dalam Perspektif Arkound, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002), hlm. 186.
[37]Pendekatan linguistik strukturalis adalah menafsiri al-Qur’an dengan mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan sifat khas yang dimiliki oleh bahasa itu Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 77.
[38]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 86-87.
[39]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 87-88.
[40]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 89-90.
[41]Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu..., hlm. 90-91.
[42]Syaiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2007), hlm. 139-209.
[43]Muhammd Amin Suma, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an 2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 135.
[44]M. Husain al-Zahabiy, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Mesir: Dar al-Kutb al-Haditsah, 1961), hlm. 474.
[45]M. Quraish Shihab, Kaidah..., hlm. 382-383.
[46]Team Pelaksana & Pentashih, Al-Qur’an Al-Karim Dan Terjemah Bahasa Indonesia (Kudus: Menara Kudus, 2006), Juz. I, Q.S. al-An’am: 138, hlm. 76.
[47]Team Pelaksana & Pentashih, Al-Qur’an..., hlm. .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar