Hadits
sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al Qur’an menempati posisi yang
sangat penting dan strategis di dalam kajian-kajian keIslaman. Keberadaan dan
kedudukannya tidak diragukan lagi.[1] Dalam al-Qur’an al-Karim telah dijelaskan dalam beberapa ayat tentang
sesuatu yang ghaib, dalam as-Sunnah hal tersebut juga di bahas lebih luas dan
lebih rinci. Sebagian hadits terbukti keshahihannya bersumber dari Nabi
Muhammad SAW.
Namun terdapat perbedaan pendapat dalam memandang dan mempercayai hadits tersebut. Untuk itu, Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Kaifa Nata’amal Ma’a Al-Sunnah
Al-Nabawiyah menguraikan
prinsip tentang membedakan antara yang ghaib dengan yang nyata dalam pemahaman
hadits. Maka dari itu dalam makalah ini akan mencoba mengulas pendapat tersebut.
A. Membedakan Antara yang Ghaib dengan
yang Nyata
As-Sunnah tidak lepas dari pembahasan masalah alam ghaib,
sebagiannya berhubungan dalam alam tidak tampak
seperti malaikat yang dimobilisasikan Allah SWT untuk banyak tugas:
$tBur !$uZù=yèy_ |=»ptõ¾r& Í$¨Z9$# wÎ) Zps3Í´¯»n=tB $tBur $uZù=yèy_ öNåksE£Ïã wÎ) ZpuZ÷FÏù tûïÏ%©#Ïj9 (#rãxÿx. z`É)øtFó¡uÏ9 tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# y#y÷tur tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä $YZ»uKÎ) wur z>$s?öt tûïÏ%©!$# (#qè?ré& |=»tGÅ3ø9$# tbqãZÏB÷sßJø9$#ur tAqà)uÏ9ur tûïÏ%©!$# Îû NÍkÍ5qè=è% ÖÚz£D tbrãÏÿ»s3ø9$#ur !#s$tB y#ur& ª!$# #x»pkÍ5 WxsWtB 4 y7Ï9ºxx. @ÅÒã ª!$# `tB âä!$t±o Ïökuur `tB âä!$t±o 4 $tBur ÞOn=÷èt yqãZã_ y7În/u wÎ) uqèd 4 $tBur }Ïd wÎ) 3tø.Ï Î|³t6ù=Ï9 ÇÌÊÈ
Dan tiada Kami
jadikan penjaga neraka itu melainkan dari Malaikat: dan tidaklah Kami
menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk Jadi cobaan bagi orang-orang
kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang
yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al kitab dan
orng-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam
hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang
dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?"
Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi
petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan tidak ada yang mengetahui
tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. dan Saqar itu tiada lain hanyalah
peringatan bagi manusia (Q.S. Al-Muddatstsir [74] : 31).
Dan seperti jin, penduduk bumi yang mendapat beban agama
seperti kita, mereka dapat melihat kita sementara kita tidak dapat melihat
mereka. Dan di
antara mereka itu adalah setan-setan, balatentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah SWT untuk berupaya
menyesatkan umat
manusia, menghiasi kebatilan dan kejahatan supaya terlihat indah dalam pandangan kita.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan:
tA$s% y7Ï?¨ÏèÎ6sù öNßg¨ZtÈqøî_{ tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ wÎ) x8y$t7Ïã ãNßg÷YÏB úüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÑÌÈ
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan
mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka (QS.
Shaad [38] : 82-83).
Dan seperti al-’arsy, al-kursiy, al-lauh dan al-qalam. Sebagian benda ghaib ini berkaitan dengan kehidupan di alam barzakh;
yaitu kehidupan setelah mati sebelum terjadinya kiamat yang berhubungan dengan interogasi
kubur, tentang
kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagian lainnya berkaitan dengan kehidupan
akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar,
peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat yang besar, mizan (neraca amalan
manusia), hisab, shirath (jembatan), surga serta berbagai kenikmatan di dalamnya;
baik yang bersifat material maupun spiritual, dan tingkatan penghuninya; dan juga neraka serta berbagai siksaan di dalamnya, baik yang bersifat material dan yang non-material, dan tingkatan penghuninya.
Semua masalah ini juga dibahas dalam
al-Qur’an al-Karim. Tetapi as-Sunnah membahasnya lebih luas dan lebih rinci.
Sebagian hadits yang membicarakan masalah ini tidak sampai peringkat shahih
yang dapat dijadikan pegangan. Karenanya tidak perlu membicarakannya,
pembicaraan hanya terbatas pada hadits-hadits yang telah terbukti keshahihannya
bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
Yang harus dilakukan oleh cendikiawan Muslim
adalah menerima hadits-hadits shahih yang telah dibuktikan keshahihannya
menurut kaidah para ahli dan ulama terdahulu. Dan tidak boleh menolaknya karena
sekedar bertentangan dengan pengetahuan kita atau seakan-akan mustahil terjadi
dibanding dengan apa yang kita ketahui selama ini, selama hal itu masih berada
dalam lingkup kemungkinan secara akal, kendati kita anggap mustahil menurut
kebiasaan. Oleh karena itu, para ulama menetapkan bahwa agama datang membawa
ajaran yang mengajak akal untuk berdialog tetapi tidak mungkin membawa ajaran
yang dapat dirubah oleh akal. Maka, dalil naqli yang shahih tidak akan mungkin
bertentangan dengan akal murni.
Apa yang diduga sebagai kontroversi antara
keduanya adalah sebagai akibat terjadinya kesalahan, baik karena dalil naqlinya
yang tidak shahih, atau akalnya tidak murni. Maksudnya, apa yang diduga manusia
sebagai ajaran agama sebenarnya bukanlah ajaran agama, ataukah sebaliknya
dengan ilmu dan akal. Sebagian sekte Islam ada yang bersikap ekstrem dalam
menolak hadits-hadits shahih yang mereka anggap bertentangan dengan rasio dan
tidak sesuai dengan yang dimaksud dalil, seperti sikap mereka yang menolak
hadits yang membicarakan interogasi dua malaikat di dalam kubur; kenikmatan
atau siksa setelahnya; timbangan dan jembatan; kaum mu’minin akan melihat Allah
SWT di surga; serta jin dan hubungannya dengan manusia.
Tentang mereka dan yang sebangsanya,
Rasulullah SAW bersabda:
لاألفينّ احدكم متّكئا على أريكته يأتيه الأمر من امري
ممّا أمرت به او نهيت به او نهيت عنه فيقول : لاأدرى ماوجدنا فى كتاب الّله
اتبعناه
Sama sekali aku tidak akan menemui salah seorang dari
kalian yang bertelekan pada dipannya yang telah mendengar ajaranku baik yang
berkenaan dengan yang diperintahkan atau dilarang, kemudia ia berkata: “Saya
tidak tahu, apa yang kami dapatkan dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti”.
Inilah ancaman berat yang mengandung larangan
terhadap orang yang menolak as-Sunnah. Terdapat juga penolakan sebagian orang
terhadap hadits shahih yang menjelaskan bahwa di surga terdapat sebatang pohon
dimana orang yang berkendaraan berjalan di bawah bayang-bayangnya selama
seratus tahun tanpa henti. Hadits ini muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh
al-Bukhari dan Muslim dari Sahal bin Sa’ad, Abu Sa’id dan Abu Hurairah.
Al-Bukhari juga meriwayatkannya dari Anas. Oleh karena itu, ketika menafsirkan
firman Allah ta’ala:
9e@Ïßur 7rßôJ¨B ÇÌÉÈ
Dan naungan yang
terbentang luas (Q.S. Al-Waaqi’ah [56] : 30).
Yang jelas seratus
tahun yang disebutkan dalam hadits di atas adalah tahunnya dunia. Dan hanya
Allah-lah yang mengetahui perbandingan waktu di dunia ini dengan waktu di sisi
Allah. Dan dalam al-Qur’an disebutkan:
y7tRqè=Éf÷ètGó¡our É>#xyèø9$$Î/ `s9ur y#Î=øä ª!$# ¼çnyôãur 4 cÎ)ur $·Böqt yYÏã y7În/u É#ø9r(x. 7puZy $£JÏiB crãès? ÇÍÐÈ
Dan mereka
meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, Padahal Allah sekali-kali tidak
akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti
seribu menurut perhitunganmu (Q.S. Al-Hajj [22] : 47).
Dan apabila hadits
tersebut shahih, maka kita perlu untuk mengatakan dengan penuh kesadaran bahwa
kita mengimani dan membenarkannya, meyakini bahwa di akhirat terdapat
peraturan-peraturan khusus yang tidak sama dengan yang ada di dunia ini. Dan
sepatutnya orang Islam memohon kepada Allah agar dirinya menjadi penghuni
surga, memberinya jalan menuju surga, baik perkataan ataupun perbuatan. Dan
memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka dan hal-hal yang menyebabkan masuk
ke dalamnya, baik yang berupa perkataan ataupun perbuatan.
Sikap yang benar yang
diterima logika iman dan tidak ditolak logika akal adalah kita mengatakan
terhadap hal-hal ghaib yang telah ditetapkan agama: “Kami mengimani dan
membenarkannya”. Mengimani apa yang disebutkan dalam dalil dan tidak menanyakan
substansi dan tata caranya dan tidak mencari detailnya, karena seringkali akal
kita tidak mampu menguasai hal-hal yang ghaib ini. Allah SWT yang menciptakan
manusia memang tidak memberinya kemampuan untuk mengetahui hal-hal seperti ini
karena memang tidak diperlukan dalam tugasnya sebagai khalifah di muka bumi.
Hadits yang
menjelaskan bahwa orang-orang beriman akan melihat Allah SWT di akhirat dan
mereka melihatnya sebagaimana melihat bulan purnama. Yang diperumpamakan adalah
kejelasan melihat-Nya bukannya objek yang dilihat, di samping teks-teks
al-Qur’an yang mereka ta’wilkan secara mengada-ada, seperti firman-Nya:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat
(Q.S. Al-Qiyamah [75] : 22-23)
Kesalahan yang mendasar
adalah mengkiaskan hal yang ghaib dengan yang nyata, kehidupan akhirat
dengan kehidupan dunia, yaitu mengkiaskan sesuatu yang berbeda. Setiap alam
mempunyai peraturan tersendiri. Jadi penghilatan dari sesuatu yang ghaib dan
yang nyata itu tidak sama, Penglihatan terhadap yang ghaib tidak diketahui cara
dan batasannya, dan tidak mungkin kita ketahui kendati kita membenarkan
terjadinya selama haditsnya benar.
Sayid Rasyid Ridla memberikan komentar terhadap perkataan
gurunya tentang sarana penglihatan di akhirat, yaitu bahwa penglihatan pada
hakekatnya adalah untuk ruh, sementara indera hanya merupakan pirantinya. Telah
dibuktikan melalui berbagai percobaan oleh para cendikiawan di timur dan di barat
pada masa sekarang bahwa di antara manusia ada yang dapat melihat dan membaca
sementara kedua matanya tertutup rapat, yaitu yang dikenal dengan membaca
pikiran, melihat sesuatu dalam keadaan tidur. Dan di antara mereka ada yang
melihat sesuatu kendati terhalang benda dan berjarak jauh, seperti: seseorang
yang berada di Mesir melihat saudaranya di Iskandariah keluar dari rumahnya
menuju stasiun.
Apabila
hal tersebut dapat dibuktikan kebenarannya pada alam sekarang ini kendati
bertentangan dengan kebiasaan penglihatan setiap manusia, maka apakah patut
bagi seorang yang berakal untuk menganggap mustahil sesuatu dalam alam ghaib
yang peraturan dan kebiasaannya tidak sama dengan alam nyata. Bila orang
menolak mempercayai yang ghaib karena
mengkiaskan alam ghaib dengan alam nyata dalam hal melihat dan objek
penglihatan, maka pengkiasannya ini tidak benar dan kesalahannya dalam
mengkiaskan objek penglihatan lebih jelas lagi.
B. Simpulan Membedakan Antara yang Ghaib dengan
yang Nyata
Dari pembahasan dalam makalah “Membedakan
antara yang ghaib dengan yang nyata” dapat disimpulkan bahwa makna dari membedakan antara yang gaib
dan alam kasatmata (nyata), adalah dalam hal memaknai teks hadits. Di antara kandungan As-Sunnah, ada
beberapa hal yang berkaitan dengan alam
gaib (’alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut
makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, jin, setan, iblis, al-’arsy, al-kursiy,
al-lauh, al-qalam, dan lain sebagainya. Sebagian
besar menjadi bahan pembicaraan dalam al-Qur’an, namun al-Sunnah berbicara tentangnya lebih luas
dengan menguraikan lebih rinci apa yang disebutkan dalam al-Qur’an dalam garis besarnya saja. Dalam hal ini, yusuf al-Qardhawi menyatakan bahwa sebagian dari
hadis-hadis yang berkaitan dengan hal-hal tersebut tidak mencukupi derajat
keshahihan yang diperlukan dan karenanya tidak seyogyanya ditujukan perhatian
kepadanya.
Seorang muslim wajib menerima
hadist-hadits shahih yang mengenai alam gaib ini dan tidak dibenarkan
menolaknya semata-mata karena menyimpang dari apa yang biasa dialami, atau
tidak sejalan dengan pengetahuan. Selama
hal itu masih dalam batas kemungkinan menurut akal, walaupun dianggap mustahil
menurut kebiasaan. Sikap yang benar yang diharuskan oleh logika keimanan dan
tidak ditolak oleh logika akal, setiap kali dihadapkan hal-hal gaib yang
ditetapkan dalam agama. Terhadap hadis-hadis tentang alam gaib tersebut, Prof. Dr. Yusuf al-Qardhawi
sependapat dengan Ibnu Taimiyah, yaitu menghindari ta’wil serta mengembalikan
itu kepada Allah SWT tanpa memaksakan diri.
[1]Musthafa Al-Siba’I, Sunnah dan Peranannya
dalam Penetapan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 56.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar