Judul buku :
Wejangan Nabi Khidir Kepada Sunan Kalijaga (Kajian Mistik Dalam Suluk Seh
Malaya)
Penulis : Drs. H. Ridin Sofwan, M.Pd.
Penerbit :
Walisongo Press
Kota terbit : Semarang
Tahun terbit :
2012
Tebal
buku : 155 halaman
A.
Latar Belakang Masalah
Pada beberapa karya suluk, yang menjadi tokoh cerita
hampir semua mengambil tokoh sejarah. Dalam karya suluk Seh Malaya yang menjadi
tokoh cerita adalah Nabi Khidir dan Seh Malaya. Nabi Khidir digambarkan sebagai
sosok misterius yang berilmu tinggi. Sedangkan Seh Malaya nama lain dari Sunan
Kalijaga atau Raden Sahid, beliau termasuk salah seorang wali penyebaran Islam
di Jawa yang berguru kepada Sunan Bonang.
Karya sastra suluk merupakan karya sastra dalam bentuk puisi (tembang). Secara definitif suluk adalah jalan yang
ditempuh menuju Allah SWT, pencarian kebenaran sejati melalui penempatan diri
seumur hidup dengan melakukan syari’at lahiriyah serta batiniah demi mencapai
kesucian hati untuk mengenal diri dan Tuhan. Mistik merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin
dengan Tuhan. Masyarakat Jawa merupakan masyarakat religius (berketuhanan),
sementara mistik menjadi perwujudan dari pengalaman batin tentang hubungan
antara manusia dengan Tuhannya.
Kajian dalam buku ini
difokuskan pada isi kandungan Suluk
Seh Malaya, terutama wejangan Nabi Khidir terhadap Sunan Kalijaga. Naskah
ini tidak diketahui siapa pengarangnya dan pada masa kapan ditulis, dilihat
dari bahasa yang digunakan termasuk puisi tradisional Jawa Klasik Mataram Baru
dengan tanda metrum macapat. Pada tahun 1931 karya ini sudah diterbitkan dalam
aksara Jawa oleh De Bliksem Solo. Kajian yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan cetakan kedua (tahun 1956) dengan bahasa Jawa dari naskah turunan
Faqir Abd’Haqq yang berupa tulisan tangan asli dari Boyolali, di terbitkan oleh
Amateur Keluarga Bratakesawa Yogyakarta pada tahun 1954 (cetakan pertama).
Dalam buku yang ditulis oleh
Drs. H. Ridin Sofwan, M.Pd, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Walisongo Semarang ini,
berupaya untuk mengetahui maksud
penulisan Suluk Seh Malaya, apakah untuk mempertahankan nilai ajaran atau ide lama dengan simbol
keislaman sehingga nampak Islami dan dapat diterima oleh orang Jawa atau
penyesuaian mistik Islam supaya identik dengan nilai mistik Jawa pra
Islam.
Untuk mencari tahu jawaban seputar perjalanan Seh Malaya dalam mencari air “zam-zam” atas petunjuk
gurunya yakni Sunan Bonang, kemudian
ditengah perjalanan menemui jalan buntu terhalang samudera dan ditemui oleh
Nabi Khidir yang memberi wejangan tentang ilmu hakekat. Kita bisa
menemukannya di dalam buku yang memiliki tebal 155 halaman. Buku ini, secara garis besar dibagi menjadi lima bab yang terdiri
dari 21 sub bab. Di dalam buku ini tidak hanya memberitahukan
bagaimana pertemuan Seh Malaya dengan Nabi Khidir, namun juga memaparkan isi
kandungan yang ada dalam Suluk Seh Malaya.
Buku ini patut diacungi jempol karena walaupun dalam buku ini difokuskan
pada pertemuan Seh Malaya dengan Nabi Khidir, namun
Isi naskah lebih Islami, dengan konsep-konsep Islam seputar wejangan Nabi
Khidir. Seluruh wejangan yang diceritakan dalam buku ini merupakan hal yang
perlu diperhatikan oleh para pembaca, karena di dalamnya memuat banyak
pembelajaran yang mengandung nilai-nilai Islami meskipun berbau mistik Jawa. Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui inti ajaran
mistik yang terkandung dalam wejangan yaitu manusia akan mencapai persatuan
dengan Tuhan manakala mampu mengalahkan hawa nafsu, selalu ingat dan waspada.
Maka dari itu, buku ini sangat cocok sekali sebagai
tambahan wawasan untuk memperdalam ilmu agama Islam. .
Namun, di sisi
lain dalam buku ini terdapat penggunaan bahasa yang terlalu
tinggi sehingga sulit untuk dipahami oleh generasi sekarang terutama pembaca pemula. Meskipun demikian buku ini sangatlah menarik untuk dibaca. Menurut
saya, buku ini cocok untuk menjadi bacaan wajib bagi semua kalangan. Karena mengandung makna bagi
kehidupan kerokhanian yang berisi nilai-nilai agama, akhlaq, dan budi pekerti
luhur. Sehingga sangat
diperlukan, tidak hanya untuk melestarikan hasil karya pujangga, namun juga
untuk menggali pandangan untuk bekal dalam kehidupan yang berupa petunjuk,
nasehat, dan wejangan dari isi kandungannya.
B.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode library
research (Penelitian Kepustakaan). Data yang diperlukan dalam penelitian ini yaitu
berupa ungkapan-ungkapan verbal yang terdapat pada sumber kepustakaan. Sumber data pustaka dibedakan menjadi dua, yaitu sumber data primer (sumber
utama) yaitu Suluk Seh Malaya untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran
tentang isi naskah terutama wejangan Nabi Khidir; dan sumber data sekunder
(sumber pendukung) yaitu buku-buku teks, jurnal, kamus, serta hasil-hasil
penelitian terdahulu yang relevan dengan materi kajian dalam penelitian ini,
yakni masalah mistik, tasawuf atau kebatinan untuk mengkaji konsep-konsep
teoritik yang berkaitan dengan mistik Islam maupun mistik jawa.
Penulis menggunakan pendekatan
filologi dalam arti tidak mengkaji aspek eksternal, melainkan langsung terhadap
aspek internal berupa isi naskah. Arah pada penelitian ini adalah kajian yang
bersifat deskriptif analitis. Sudut pandang dalam buku ini adalah
melihat dari aspek mistik, dengan menempatkan isi, khususnya wejangan Nabi
Khidir kepada Sunan Kalijaga sebagai simbol ajaran mistik.
C.
Hasil Penelitian
Suluk Seh
Malaya berisi
ungkapan-ungkapan simbolik yang sebagian besar berisi nasehat atau wejangan
mengandung suatu ajaran yang terfokus pada kebatinan atau mistik. Wejangan tersebut merupakan ajaran mistik
yang memberi petunjuk tentang upaya manusia untuk bisa manunggal dengan Tuhan.
Tujuan tersebut antaralain: mencari kesempurnaan hidup atau mati dalam hidup
(mati ing sajroning urip). Gambaran
singkat alur cerita dalam Suluk Seh Malaya yang terkait dalam bentuk enam
tembang macapat dari pupuh I sampai dengan pupuh VIII, yang berisi antara lain:
1.
Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang
Sudah lama Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, berharap untuk
memperoleh ajaran tentang kesempurnaan yang tak kunjung didapatkan. Beberapa
tugas selalu dilaksanakan dengan penuh hormat dan ketaatan terhadap gurunya
antara lain: menunggu pohon beringin besar di hutan bonang selama 1 tahun,
melakukan tapa pendem tubuhnya dikubur dalam tanah selama 1 tahun,
melakukan tapa ngidang (hidup di hutan bersama kijang secara rahasia)
selama satu tahun dan diminta untuk naik haji ke Mekah untuk mendapat air suci
zam-zam.
Cerita tersebut memberikan
gambaran tentang latar belakang ajaran tentang kesempurnaan atau kelepasan.
Diperintahkan untuk melakukan dengan cara Islam yakni naik haji, bahwa saat
naik haji itulah akan ditemukan apa yang dicari yakni “sifat idayutullah”.
2. Sunan
Kalijaga pergi ke Mekah dengan maksud naik haji
Ketika Seh Malaya melakukan perjalanan menuju ke mekah
ditepi samudra ditemui oleh Nabi Khidir yang mengetahui asal usul dan
tujuannya. Nabi Khidir mengatakan bahwa apalah arti naik haji ke ka’bah
peninggalan Nabi Ibrahim yang terbuat dari kayu dan batu, apabila tidak
mengetahui ka’bah yang sejati maka akan sama artinya dengan orang kafir yang
menyembah berhala. Ungkapan tersebut menunjukkan
bahwa dengan cara islam yaitu dengan naik haji seseorang diharapkan dapat
mencapai tujuan mistik.
3. Seh Malaya
bertemu Nabi Khidir dan melihat aneka macam cahaya
Nabi Khidir menjelaskan bahwa cahaya gemilang itu namanya
Panca maya (muka sifat), yang mungkin jiwa manusia menuju sifat jati atau sifat
hakiki. Adapun empat macam cahaya (hitam, merah, kuning dan
putih) merupakan nafsu manusia. Kemudian Nabi Khidir menerangkan bahwa nafsu
mutmainah dalam kehidupan manusia selalu berperan melawan tiga nafsu lainnya
(lauwamah, amarah dan sufiyah), karena sendirian biasanya selalu kalah. Seh
Malaya melihat suatu cahaya yang berisikan delapan sinar, kemudian Nabi Khidir menjelaskan bahwa cahaya itu
merupakan suatu bentuk penggambaran kesatuan wujud antara alam besar, jagad
raya dengan alam kecil, manusia, bahwa secara hakiki hakikat manusia sama
dengan hakikat alam.
4. Seh Malaya
melihat boneka gading
Selain melihat suatu sinar yang
berisikan delapan sinar, terlihat pula anak-anakan gading yang bercahaya
gemerlapan. Menurut ajaran ini selain nafsu-nafsu, pada diri manusia juga
terdapat tiga unsur rohaniah dan ilahiyah yakni: pramana, suksma dan suksma
sejati yang saling berhubungan.
5. Makna
wejangan Nabi Khidir kepada Seh Malaya.
a. Seh Malaya
harus keluar dari gua garba Nabi Khidir, tidak boleh tinggal disitu selama
masih hidup. Kondisi yang dirasakan didalamnya merupakan kenikmatan dari orang
yang telah mencapai tujuan mistik, suatu kondisi manunggaling kawula Gusti
yaitu perasaan nikmat, tenang, tenteram yang tak terkira.
b. Seh Malaya
harus awas dan waspada terhadap segala macam godaan rencana yang menyesatkan
hati manusia, tidak boleh mempunyai sesuatu kegemaran yang membatalkan
kelepasan. Nasehat tersebut menjadi syarat bagi yang berolah mistik, agar
waspada terhadap godaan nafsu, terkait dengan kenikmatan yang bersifat duniawi
dan untuk menghindari perilaku yang tidak baik.
c. Seh Malaya
harus membatasi pembicaraan tentang ilmu kesempurnaan kecuali dengan orang yang
telah sama-sama mendapatkan hidayah Allah. Oleh karena itu golongan ilmu
kebatinan ini terkadang sering bertentangan dengan mereka yang menaati
syari’at.
d. Seh Malaya
perlu memahami sangkan paraning dumadi dan pamoring kawula Gusti. Proses ini
besar sekali manfaatnya bagi yang berkepentingan. Apabila telah memiliki daya
sanggup atas ridlo Tuhan dan sudah berlatih maka akan lancar berma’rifat, dan
dapat dikatakan “ia sudah berbadan Tuhan.
e. Seh Malaya
harus mengetahui apa hakekat dari kelepasan, cara mempelajari ilmu Kesampurnaan
dan mengetahui pula tentang laku manusia setelah faham benar dalam ilmu Kesunyatan.
Kelepasan itu wujudnya boleh besar, kecil, lembut ataupun luas. Meliputi
seluruh alam semesta dan menguasai segala-galanya tiada yang terkecuali.
Oleh sebab itu pesan Nabi Khidir
kepada Seh Malaya agar dicamkan bahwa apabila kawula dan Gusti sudah menjadi
satu maka berlaku dalil mustika yang berbunyi “apa yang dikehendaki jadilah,
apa yang dicita-citakan datanglah”. Orang yang sudah faham benar akan Ilmu
Kesampurnaan dalam batinnya tak boleh sekejappun melupakannya serta harus dapat
mempraktekkan ucapan dan kalimah yang berbunyi “hidup itu sifatnya abadi,
sedangkan mati adalah hawa nafsu”.
Ajaran metafisik memiliki arti penting bagi para pelaku
mistik, karena dalam ajaran itu akan diketahui tujuan yang benar dari pada apa
yang dilakukannya. Metafisik diartikan sebagai kenyataan yang
berada dibalik alam Nyata. Ajaran metafisik dalam Suluk Seh
Malaya, meliputi:
1. Ajaran tentang Tuhan, perumpamaan
tentang pengejawantahan Tuhan dalam diri manusia serta menjadi intisari manusia
sehingga mencerminkan adanya kesamaan hakekat juga diungkapkan seperti hubungan
matahari dengan sinarnya, madu dengan manisnya, dan sebagainya.
2. Ajaran
tentang Alam, terdapat beberapa jenis alam, seperti alam awing-uwung, alam
ambiratan, alam ambiya, alam dunia, alam akhirat dan alam kematian. Dari
beberapa alam tersebut dapat diketahui bahwa terdapat alam lahir dan alam
ghaib.
3. Ajaran
tentang Manusia, terdiri dari asppek lahir dan rohani (batini). Manusia berasal
dari johar awal (penguasaan insan kamil di akhirat).
Tujuan mistik
adalah untuk mencapai hubungan yang sedekat-dekatnya antara manusia dengan
Tuhan. Praktek mistik akan selalu berorientasi
pada tujuan mistik, tujuan mistik medasar pada pemikiran atau pemahaman yang
menjadi dasar keyakinan, yaitu tentang asal-usul manusia serta hubungannya
dengan Tuhan. Jalan mistik yang tercermin dari wejangan Nabi Khidir dilakukan
dengan cara meneliti (melihat diri), terutama berhubungan dengan unsure-unsur
rohaniah manusia yang disimbolkan dengan cahaya atau warna.
Oleh sebab itu ajaran mistik menjadi isi kandungan Suluk Seh Malaya
lebih mencermintan mistik yang bersifat sinkretik yaitu pemcampuran antara
mistik Islam. Dengan tujuan untuk melestarikan mistik Jawa yang sinkretik
dengan memasukkan konsep-konsep yang berasal dari ajaran mistik Islam. Dengan
demikian upaya untuk “mengislamkan” mistik Jawa itu masih sebatas aspek luar,
sedangkan makna yang tersirat tetap bertumpu mistik manunggaling kawulo Gusti
dan berlandaskan teologi panteistik.
Secara garis besar inti sari dari ajaran mistik yang terkandung dalam
wejangan tersebut yaitu bahwa manusia akan mencapai persatuan dengan Tuhan
apabila mampu mengalahkan hawa nafsu, selalu ingat dan waspada dengan semua
halangan yang ada. Oleh karena itu manusia harus selalu berlatih berkaca dari diri
sendiri sehingga menemukan hakekat dirinya yang terdalam untuk mewujudkan
kemanunggalan sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki sifat kedewataan
(insan kamil).